Hidayah Al-Jâriyah yang Sesuai dengan Tuntunan Syari’at

Hidayah Al-Jâriyah yang Sesuai dengan Tuntunan Syari’at

Segala sesuatu yang wujud (ada) akan tercipta menurut kehendak dan takdir Allah Swt., sesuai dengan ilmu-Nya yang mmeliputi segala sesuatu seecara nyata. Misalnya, manusia diciptakan dari sekerat daging yang tumbuh di dalam rahim seorang ibu. Kemudian sekerat daging itu tumbuh dan berkembang secara perlahan-lahan, hingga menjadi bayi yang tumbuh. Semua itu terjadi sesuai dengan aturan dan kehendak Allah Swt., meskipun pengikut faham Sekular menamakan proses pertumbuhan seseorang dari awal kejadiannya hingga sempurna dengan nama ‚perkembangan secara alami‛. Dan, umat Islam meyakini bahwa proses pertumbuhan seseorang dari awal kejadian hingga sempurna dari kehendak Allah Swt. dan takdir-Nya.

Sebenarnya, dalil adanya hidayah termasuk salah satu dari dalil-dalil yang berkaitan dengan persoalan tauhid, yaitu; sesuatu yang berdiri sendiri menurut kehendak dan petunjuk Allah Swt.. Sehingga manusia meyakini adanya Allah Yang Maha Esa. Segala sesuatu akan terjadi mulai dari unsur yang paling kecil hingga berkembang kepada unsur yang terbesar, semua itu telah ditakdirkan menurut kehendak Allah Swt..

Misalnya, seekor ayam betina yang mengerami telur-telurnya selama beberapa waktu (sekitar 21 hari-penerj), dan ia sanggup menahan lapar serta haus dengan menahan teriknya panas matahari. Juga ia tidak meninggalkan telur-teluranya sesaat pun. Kejadian itu apakah berjalan menurut kehendak alam ataukah berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.? Apalagi induk ayam sudah mengetahui, bahwa calon anak-anaknya akan menyaingi induknya dalam mencari sumber penghidupan? Tentunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu bagi seorang Mu’min akan mengatakan, bahwa semua itu terjadi menurut takdir atau kehendak Allah Swt..

Selain itu, mari kita perhatikan pula bagaimana proses keluarnya anak ayam dari telurnya, yaitu ketika ia mematuk dinding telurnya dengan paruhnya yang masih lemah. Setelah itu, anak ayam tersebut keluar dari cangkang telurnya menuju alam bebas. Lalu, dari manakah ia mengetahui proses seperti itu sampai ia dapat bebas dari dinding telurnya?

Demikian pula, kalau kita perhatikan anak bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya, maka ia seolah-olah sudah terlatih untuk menghisap air susu dari payudara ibunya. Kemudian kita harus bertanya pula, siapakah kiranya yang mengisi air susu di payudara seorang wanita (ibu) yang siap diminum oleh bayinya? Kemudian kita harus bertanya pula, siapakah kiranya yang mengajari seorang anak bayi yang baru lahir untuk menghisap air susu dari payudara ibunya? Tentunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kita sebagai seorang Mu’min akan mengembalikannya kepada kehendak dan takdir Allah Swt..

Ada sejumlah firman Allah Swt. mengisyaratkan, bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini karena dikehendaki dan ditakdirkan oleh-Nya. Sebagaiman telah disebutkan di dalam firman-Nya Swt. sebagai berikut, “Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia,” (QS Al-Nahl [16]: 68).

Menurut ayat di atas, Allah Swt. telah mengajarkan kepada sekelompok lebah untuk membuat sarang bagi pengumpulan madu-madu yang mereka hasilkan. Allah Swt. juga mengajarkan kepada sekelompok lebah tersebut untuk menjadikan gunung-gunung dan tanaman-tanaman sebagai rumah atau tempat menggantungkan sarang mereka. Termasuk pula mengajari mereka cara membuat ruas-ruas madu pada sarangnya. Untuk membuat ruas-ruas pada sarang madu tersebut tidak mungkin dilakukan oleh sejumlah lebah, kecuali jika telah ditakdirkan dan diajari oleh Allah Swt.. Setelah itu, lebah-lebah tersebut berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga yang lain untuk menghisap sari patinya. Sudah tentu, untuk melakukan perbuatan yang serapi dan sesempurna itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh para lebah dengan sendirinya, kalau tidak diberi pelajaran oleh Allah Swt.. Jadi, proses pembentukan madu juga telah ditetapkan takdir dan ilmunya oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Tidak diragukan lagi, bahwa untuk pembelajaran kepada para lebah itu tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa, meskipun ilmunya sangat luas dan berasal dari sebuah negara yang sangat maju serta canggih tkhnologi mereka pada dewasa ini. Terdapat pula ratu lebah yang memimpin pemerintahan negeri lebah, dan ada sejumlah lebah yang bertugas mengumpulkan para lebah yang bertindak sebagai pasukan. Alhasil, semuanya bekerja menurut tugas masing-masing tanpa henti, sampai menghasilkan sejumlah madu pada sarang lebah tersebut.

Ketika induk-induk lebah akan bertelur, maka mereka akan meletakkan setiap telur mereka pada tempatnya masingmasing, agar dierami oleh yang bertugas mengerami telur-telur lebah-lebah tersebut. Selanjutnya induk lebah itu membunuh sejumlah lebah yang tidak lagi produktif, dan membiarkan hidup mereka yang masih produktif, sehingga jumlah mereka tetap dalam kesatuannya. Sedangkan lebah-lebah yang masih hidup akan melaksanakan tugas mereka masing-masing secara fitrah pada hari-hari berikutnya.

Selain itu, lebah-lebah pejantan yang masih kecil tidak dibiarkan hidup, sedangkan lebah asing tidak boleh masuk ke dalam sarang lebah pada koloni yang berbeda. Demikian pula setiap sarang diwajibkan bersih dan selalu dibersihkan setiap saat oleh sekelompok lebah yang bertugas khusus menjaga kebersihan sarang dari kotoran. Ada pula lebah-lebah yang bertugas khusus untuk menghisap sari bunga, dan mereka bertugas pula memperhatikan kebersihan sarang itu dari kotoran yang berasal dari luar sarang. Sehingga kaki mereka sebelum masuk sarang harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran yang menempel. Jika ada kotoran, maka ia tidak boleh masuk ke dalam sarang lebah. Misalnya ada seekor lebah yang tidak menaati aturan yang sudah ada, maka ia akan segera diusir secara beramai-ramai oleh lebah-lebah yang lain.

Menurutmu, siapakah yang mengajari lebah-lebah tersebut sehingga bisa bekerja secara teratur seperti itu, padahal mereka tidak mempunyai aqal. Tentunya sebagai seorang yang berpikir kita akan bertanya, siapakah kiranya yang mengajari lebah-lebah tersebut terdidik untuk menghasilkan madu, padahal madu itu telah dikenal orang sejak lima puluh juta tahun yang lalu, dan prosesnya dari dahulu hingga sekarang adalah sama. Dan, setiap lebah tidak akan sempurna pertumbuhan mereka kecuali secara bertahap. Bahkan mereka telah mengenal tugas masing-masing sejak mereka diciptakan, dan pengetahuan seperti itu akan diwariskan secara turun-temurun. Pertama kali yang harus kita perhatikan adalah, ketika setiap lebah membentuk lubang-lubang sarang berbentuk persegi enam tidak berbentuk persegi tiga atau empat. Itulah sejarah terciptanya madu, sebuah minuman atau cairan lezat yang di dalamnya mengandung berbagai obat untuk segala macam penyakit. Tentunya, di dalam setiap proses yang ada dapat kita simpulkan, bahwa yang mengajarkan kepada lebah-lebah itu memproses produksi madu hanyalah Allah Yang Mahaahad. Meskipun lebah-lebah itu sendiri tidak merasakan adanya pendidikan secara khusus dari Allah Swt..

Adapun yang mendidik lebah-lebah tersebut untuk memproduksi madu tidak lain hanyalah Allah Swt.. Setiap lebah mempunyai tugas masing-masing, dan mereka menjalankannya dengan baik, mulai dari ratu lebah, para pejantan lebah dan para prajurit mereka. Semuanya menjalankan pendidikan dari Allah Swt. dengan sangat baik.

Sebagaimana lebah, maka semut pun menerima pendidikan langsung dari sisi Allah Swt.. Seperti telah disebutkan di dalam firman-Nya Swt. berikut ini, “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, ‘Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarang kalian, agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari,” (QS Al-Naml [27]: 18).

Bagaimana mungkin induk semut berkata demikian kepada anak buahnya. Tentunya bagi setiap semut memiliki lisan dan bahasa tersendiri yang dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi dengan sesamanya. Sehingga para ahli kedokteran hewan dewasa ini sering menyelidiki sarang-sarang semut. Salah satu di antaranya menyimpulkan, bahwa sarang semut itu ada yang kecil dan ada pula yang besar. Di antara ukuran keduanya terdapat sebuah lubang kecil yang berguna untuk memindahkan semut wanita dari tempat asalnya ke tempat yang lain jika dibutuhkan. Setelah kondisi dianggap telah kembli normal (aman), maka semut laki-laki keluar dan mendatangi salah satu lubang melewati lubang yang kecil dengan menyeberangi sebuah batang yang berada di atasnya, kemudian ia memberi aba-aba kepada semutsemut yang lain.

Yang perlu kita pertanyakan adalah, siapakah kiranya yang memberi tahu perginya semut betina dari sarangnya ke tempat sarang yang lain? Para ahli menafsirkan, bahwa proses perpindahan seekor semut ke tempat yang lain sebagai berikut. Semut betina yang diletakkan pada posisi terakhir adalah, guna memberitahukan kepada kawan-kawannya sesama semut agar hendaknya mereka bersembunyi. Yaitu, dengan menimbulkan suara yang mendengung, sehingga menimbulkan gelombang bunyi, untuk menerangkan kepada semut-semut yang akan datang bahwa sarangnya tengah dalam keadaan bahaya. Proses percakapan antar sesama semut perempuan itu berjalan dengan sembunyi-sembunyi (rahasia), sehingga kawan-kawan yang lain berlari untuk menyelamatlan diri mereka masing-masing, dan mereka bersiap-siap untuk menyerang sarang-sarang semut yang lain.

Maksudnya, semut-semut itu dapat berbicara dengan sesamanya menggunakan bahasa yang dapat didengar dan dimengerti oleh Nabi Allah Sulaiman as., sehingga beliau tersenyum setelah mendengar seruan seekor semut betina kepada kawan-kawannya.[1] Maka Nabi Sulaiman pun spontan bersyukur ke hadirat Allah Swt. atas karunia-Nya yang sedemikian besar bagi diri beliau.

Sesungguhya dunia semut mempunyai peraturan kemasyarakatan yang mirip dengan peraturan sebuah negara. Semua anggota semut berjuang untuk mengumpulkan bahan makanan di sarang mereka masing-masing. Tidak satu pun di antara mereka yang merasa malas untuk mengerjakan tugasnya. Sampai apabila ada seekor semut yang merasa terlalu berat untuk mengangkat sebuah makanan, maka ia akan memanggil kawan-kawannya untuk bersama-sama mengangkat bahan makanan itu ke sarangnya. Pada umumnya, semut-semut itu rajin bekerja di waktu musim panas. Sehingga pada saat musim dingin atau musim hujan tiba, maka mereka tidak keluar dari sarangnya masing-masing. Mereka hanya mengonsumsi bahan makanan yang telah mereka simpan pada waktu musim panas. Adakalanya juga sebagian bahan makanan yang basah dan perlu dikeringkan di bawah sinar matahari, maka mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk membawanya ke tempat yang panas. Setelah bahan makanan itu kering, maka mereka beramai-ramai memindahkannya kembaali ke sarang masing-masing.

Adakalanya apabila ada di antara bahan makanan itu ada yang terlalu berat, mereka berusaha membaginya menjadi dua. Demikian pula jika di antaranya ada yang lebih besar lagi, mereka berusaha membaginya menjadi tiga atau empat bagian, dan seterusnya, sampai benar-benar bisa mereka angkat secara beramai-ramai. Demikianlah yang mereka lakukan, agar semua bahan makanan itu dapat disimpan dan dapat dikonsumsi dalam waktu-waktu tertentu (sebagai persediaan) secara bersama-sama.

Siapakah kiranya yang mendidik semut-semut itu untuk bergotong-royong? Padahal tubuh semut-semut itu sangat kecil, bahkan kurang dari satu inci. Akan tetapi, mereka dapat mengerti apa yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada mereka. Adapun jawaban yang pasti adalah, Allah Swt. sebagai pendidik mereka, seperti pendidikan Allah yang diberikan kepada masing-masing makhluk-Nya yang lain.

Abu Hurairah ra. menuturkan, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda sebagai berikut, “Ada seekor semut menggigit tubuh seorang Nabi, hingga sang Nabi menyuruh umat beliau membakar seluruh sarang semut yang ada.’ Maka Allah menurunkan wahyu kepada sang Nabi, ‘Mengapa engkau sampai harus membakar seluruh sarang semut, padahal yang telah menggigitmu hanya seekor saja? Sementara di antara mereka ada pula semut-semut lain yang suka bertasbih kepada Allah.’”[2]

Dari keterangan hadis di atas dapat kita simpulkan, bahwa para semut termasuk di antara sejumlah makhluk Allah Swt. yang selalu bertasbih dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia.

Dalam hadis yang lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab Musnad miliknya, bahwa Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, “Ada salah seorang Nabi --dari para Anbiyâ’-- keluar untuk meminta diturunkan huja. Tiba-tiba beliau melihat seekor semut yang mengangkat sebagian dari kakinya ke arah langit. Sehingga Nabi itu berkata kepada umat beliau, ‘Pulanglah kalian, karena do’a kalian telah diterima oleh Allah, disebabkan do’a seekor semut.’”[3]

Dari hadis di atas dapat disimpulkan, bahwa semut-semut itu berbuat demikian tentunya karena telah diilhami oleh Allah Swt..

Al-Qur’an juga mengisahkan kepada kita tentang sekelompok binatang yang membentuk koloni, berbangsa-bangsa seperti umat manusia. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, “Dan tiadalah binatang-binatang yang melata di muka bumi, juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayap mereka, melainkan umat juga seperti kalian. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Allahlah mereka dihimpunkan,” (QS Al-An’âm [6]: 38).

Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis sebagai berikut, “Andaikata koloni anjing itu tidak berbangsa-bangsa, pasti aku suruh kalian membunuh setiap anjing yang ada. Akan tetapi, bunuhlah saja setiap anjing yang hitam pekat (yang dimaksud adalah anjing yang membahayakan seperti srigala-penerj).”[4]

Para ilmuwan sangat mengkhawatirkan dengan lenyapnya sekelompok binatang yang dikenal dengan nama Geronticus eremita di Turki. Sebab, jika ada suatu kelompok (jenis) binatang tertentu yang punah secara keseluruhan, maka pasti akan menyebabkan dampak negatif yang lebih berat dari adanya sekelompok binatang lain yang bertalian sistem hidup mereka dengan jenis binatang tersebut. Tentunya, siapakah yang mendidik adanya keseimbangan antara adanya sekelompok binatang yang berbahaya dengan yang lain (yang tidak membahayakan) di alam semesta ini. Siapakah kiranya yang mengajari para ilmuwan itu tentang adanya keseimbangan dengan keberadaan sekelompok binatang buas bagi keberimbangan ekosistem di jagad semesta yang bernama bumi ini?

Tentunya pada saat menghadapi pertanyaan semacam itu kita akan menjawab, bahwa kesemuanya itu merupakan bukti tentang adanya Hidayah atau petunjuk al-Jabariyyah, atau petunjuk yang sesuai dengan syari’at Allah Swt.. Jadi, menurut kami, semua yang terjadi di alam semesta ini telah ditakdirkan oleh Allah Swt. tentang keberadaan maupun kejadiannya.

[1] Lihat lebih lanjut dalam surah Al-Naml (27) ayat 19.
[2] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-Jihâd, hadis nomor 153.
[3] Lihat lebih lanjut dalam al-Mustadrak, karya Imam al-Nisaburi, Jilid 1, hadis nomor 325.
[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Darimi, pada pembahasan mengenai al-Shaid, hadis nomor 13. Juga oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Adhâhi, hadis nomor 21. Diriwayatkan juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-Shaid, hadis nomor 10.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.