Sîrah Nabi Versi M. Fethullah Gülen
Abstrak
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah Fethullah Gülen telah meletakan tradisi baru dalam penulisan sîrah Nabi. Argumen ini bisa peneliti buktikan setelah membandingkannya dengan beberapa karya-karya sîrah Nabi lainnya. Yakni sîrah Nabi dengan penulisan versi tradisional, penulisan versi modern, dan penulisan versi tematik.
Pendekatan tematik yang digunakan Fethullah Gülen dalam bukunya terfokus pada analisis aspek-aspek kehidupan Nabi. Ini bisa dilihat dalam buku Gülen yang menerangkan mengenai, aspek kenabian dan sifat-sifat yang harus dimilikinya, Nabi yang bebas dari kesalahan keluarga, Nabi sebagai seorang pendidik, Nabi sebagai umat dan militer, doa-doa keseharian Nabi, aspek strategi dakwah Nabi. Penulisan sîrah Nabi secara tematik dengan mengedepankan beberapa aspek dalam kehidupan Nabi ini mempermudah pembaca untuk memahami dan mengikuti jejak ajarannya pada masa sekarang ini.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode historis komparatif. Data primer diambil dari buku yang ditulis Fethullah Gülen yakni, An analysis of the Pophet’s Life Muhammad The Messenger of God sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku sîrah Nabi dengan berbagai versinya, penulisan versi tradisional Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawhar karya Abu Hayan Ali al-Mas’udi (w 956), Sîrah Ibn Hisyam, al-Waqidi al-Maghazi. Sîrah Nabi versi modern Hayâtu Muhammad karya Muhammad Husain Haikal, Muhammad Prophet for Our Time karya Karen Armstrong. Penulisan versi tematik Rasulullah SAW sejak Hijrah hingga wafat karya Ali Syari’ati, Sîrah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru karya Fuad Hashen H.
A. Pendahuluan
“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.” Ungkapan tersebut sering menjadi alasan para penceramah untuk menganjurkan jama’ahnya mengenal Nabi Muhammad. Sirâh Nabi atau sejarah biografi kehidupan Nabi Muhammad memang telah akrab bagi umat Islam Indonesia, sehingga bisa diidentikan orang yang memahami kehidupan Nabi berarti cinta kepada Nabi, namun Sîrah Nabi yang sering diceritakan terasa jauh dengan kehidupan modern sekarang.
Muhammad Fethullah Gülen seorang ulama Turki menulis sîrah Nabi yang bisa menjawab kesenjangan tersebut, Gülen dalam menulis bukunya menggunakan pendekatan tematik yang terfokus pada analisis aspek-aspek kehidupan Nabi Muhammad. Berbeda dengan sîrah Nabi yang ada sebelumnya, Gülen tidak bercerita secara kronologis dan panjang lebar serta membutuhkan berjilid-jilid tebal untuk menuliskannya, Gülen menulisnya hanya beberapa aspek dalam kehidupan Nabi. Misalnya, aspek kenabian dan sifat-sifat yang harus dimilikinya, Nabi sebagai suami dan ayah, Nabi sebagai seorang pendidik, dan di bab terakhir Gülen membahas aspek kedekatan Nabi dengan para Sahabat. Penulisan sîrah Nabi secara tematik dengan mengedepankan beberapa aspek dalam kehidupan Nabi ini mempermudah kita untuk memahami dan mengikuti jejak ajarannya pada masa sekarang ini.
Sîrah Nabi karya Fethullah Gülen yang berjudul An analysis of the Pophet’s Life Muhammad The Messenger of God termasuk sîrah dengan kategori yang unik bagi masyarakat Indonesia. Dengan alasan tersebut peneliti mencoba mengkajinya secara lebih dalam dan menyajikannya dalam sebuah makalah. Peneliti membatasi permasalahan dalam penelitian ini dengan 2 pertanyaan; Metode penulisan apa yang digunakan Gülen dalam menyusun sîrah Nabi? Apa pebedaan karya tersebut dengan karya-karya sîrah Nabi lainnya?
Karena topik dari penelitian ini adalah Fethullah Gülen yang terkait dengan sîrah Nabi, maka karya ditulis Fethullah Gülen An analysis of the Pophet’s Life Muhammad The Messenger of God menjadi objek sekaligus sumber utama penelitian ini, sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku sîrah Nabi dengan berbagai versinya. Metode historis komparatif menjadi pilihan peneliti dalam penelitian ini, peneliti menjadikan sîrah Nabi karya Gülen sebagai objek penelitian yang kemudian dibandingkan dengan sîrah Nabi lainnya.
Adapun sistematika penyajian tulisan adalah: A) Pendahuluan yang didalamnya menjelaskan dasar pemikiran, perumusan masalah, metode penelitian, supaya penelitian terarah dan sesuai dengan permasalahan yang ingin diangkat; B) Asal Mula dan Perkembangan Sîrah Nabi, pada bagian ini peneliti jelaskan secara kronologis perkembangan penulisan Sîrah Nabi dari masa klasik sampai modern. Hal ini penting dibahas untuk mengetahui seluk-beluk sumber sîrah dan bagaimana sîrah menjadi disiplin ilmu tersendiri; C) Model Penulisan Sîrah, peneliti mengkategorikan penulis Sîrah Nabi kedalam tiga kategori dan peneliti menyebutkan contohnya, hal ini penting untuk mengetahui macam-macam karakteristik metode yang digunakan dalam penulisan Sîrah Nabi; D) Biografi Fethullah Gülen, pada bagian ini berisi biografi Gülen yang akan peneliti gunakan untuk melihat keadaan sosial politik ketika karya ini ditulis; E) Mengenal Sîrah Nabi Karya Fethullah Gülen, bagian ini peneliti menjelaskan secara ringkas semua hal tentang sîrah yang sedang diteliti ini dan mengkomparasikannya dengan bentuk-bentuk sîrah lainnya yang penulis telah sajikan di bagian sebelumnya. Bagian ini adalah inti dari penelitian, penulis memaparkan argumen yang memperkuat temuan dari penelitian ini; Dengan demikian akan ditemukan sebuah kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bagian F) Kesimpulan.
B. Asal Mula dan Perkembangan Sîrah Nabi
Historiografi Islam dimulai dengan penulisan riwayat Nabi Muhammad Saw. yang disebut dengan sîrah. Sîrah adalah biografi, sekaligus sejarah, hukum dan tuntunan. Sehingga sîrah dijadikan pedoman kaum Muslim berdasarkan sifatnya yang melampaui waktu dan nilai-nilai suri tauladan yang ideal dan bukti praksis dari prinsip-prinsip serta ketetapan-ketetapan al-Qur’an.
Dalam klasifikasi keilmuan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu-ilmu keagamaan (‘ulûm al-naqliyyah) karena pada awalnya sangat terkait dengan hadis. Bangsa Arab adalah kaum ummi yakni sebagian besar orang Arab tidak mengenal baca tulis, sehingga pada masa perkembangan Islam bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka, sebaliknya mereka terbiasa dengan tradisi lisan (oral) yaitu dengan hafalan dari mulut ke mulut.
Saat itu kemahiran dalam tradisi tulisan tidak memberikan prestise yang luar biasa, justru sebaliknya mereka yang terampil dalam tradisi lisan memiliki prestise yang tinggi di masyarakat. Hal itu menjadikan sejarah awal bangsa Arab yang berupa ungkapan berbagai peristiwa dan peperangan dituangkan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan. Pasca wafatnya Rasulullah Saw. bangsa Arab mulai menjauh dan menyebar ke berbagai wilayah untuk membuka wilayah-wilayah non-Arab ketajaman hafalan mereka mulai melemah dan muncul kebutuhan untuk melakukan kegiatan penulisan.[1] Para sahabat mulai menyalin, mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an, mengumpulkan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan atau ketetapan yang dilakukan dan dibuat oleh Rasulullah Saw dalam hidupnya, yang kemudian disebut dengan hadis.[2]
Sîrah secara bahasa artinya bergerak, pergi dan berjalan. Istilah sîrah ini sudah mulai dipakai oleh umat Islam sejak awal. Sayr artinya berjalan dan sîrah menunjukkan cara berjalan. Sîrah berpola (wazan) fi’latun yaitu suatu kategori perbuatan. Buku-buku yang sekarang ditulis tentang kehidupan Nabi belum menjadi sîrah, tetapi masih berupa sayr. Artinya buku-buku yang ada hanya tentan kehidupan nabi dan bukan model kehiduan Nabi.[3]
Usaha penulisan sîrah Nabi bukan berasal dari pengaruh tradisi Yahudi, Kristen, Arab, atau Parsi; justru akar penulisan Sîrah Nabi berasal dari dari ajaran Islam sendiri. Namun demikian, Nabi tidak pernah menulis atau memerintahkan untuk menulis biografinya sendiri.[4]
Namun keadaan berubah drastis pada abad ke-2 dan awal abad ke-3, situasi bangsa Arab telah berubah. Bangsa Arab sangat membutuhkan penulisan dan penyalinan hadis-hadis Nabi, riwayat hidup Nabi. Kondisi seperti ini yang menjadikan munculnya perkembngan historiografi Islam. Awalnya tradisi penulisan tidak berkembang sampai pada masa bangsa-bangsa dari wilayah penaklukan menganut dan mempelajari bahasa Arab. Peradaban lama bangsa mereka telah menggugah kesadaran historis bangsa Arab. Sehingga kita mengenal bahwa mayoritas sejarawan pada masa awal Islam berasal dari kalangan Muslim Non-Arab.[5]
Karya sejarah dari masa awal masih bercampur dengan hadis, yakni dari periwayatan dan kesaksian (al-sima’ dan al-musyahadah). Metode para sejarawan sama dengan metode yang ditempuh oleh para ahli hadis yaitu mengambil informasi lewat hafalan-hafalan periwayatan individu yang otoritatif. Namun setelah tradisi tulisan berkembang dan ilmu sejarah telah mapan, riwayat otoritatif yang semula dinilai sebagai bagian dari agama tidak lagi dianggap memadai untuk menyampaikan fakta sejarah karena ia tidak mampu menampilkan seluruh sisi fakta secara utuh akibat keterbatasan kemampuan hapalan manusia. Dengan demikian, muncul perkembangan pada historiografi karena sejarah mulai melepaskan diri dari metode ilmu hadis ke wilayah yang lebih luas di mana metodologinya lebih mandiri.[6]
Ibn Khaldun berpandangan bahwa sejarah tidak sekedar informasi-informasi dan catatan-catatan kronologis. Ia adalah kritik terhadap fakta-fakta dan kajian terhadap sebab-sebab kemunculannya. Dengan adanya perubahan ini maka abad ke-4 H. sîrah berpisah dengan ilmu hadis. Para sejarawan kontemporer tidak lagi menuliskan sanad-rangkaian informan-dalam bukunya, sebagai gantinya mereka menyebutkan karya-karya rujukannya. Selain itu, sebagai ganti penyebutan individu-individu informan, muncul cara baru yang dikenal dengan istilah âsânîd al-kutub (rangkaian referensi).
Pada awalnya mayoritas karya sejarah yang di tulis para sejarawan muslim lebih berorientasi pragmatis, sebagai bahan renungan, dan pencarian pengalaman peneliti. Biasanya bercerita mengenai sejarah penciptaan bumi, keadaan bangsa-bangsa terdahulu, kisah-kisah para Nabi, biografi Nabi masalah kiamat dan tanda-tanda kedatangannya. Misalnya kitab Mu’jam al-Buldân karya Yakut yang menggunakan pilihan judul Akhbâr, Maghazî, Târikh, Futûh disusun secara tematis berdasarkan kronologi tahun.[7]
Para sejarawan berikutnya lebih memilih untuk meringkas karya-karya yang metode dan pembahasannya terlalu luas. Sehigga muncul kecendrungan untuk memfokuskan tema kajian pada tema-tema yang lebih spesifik ketimbang mengkaji seluruh tema. Mayoritas karya-karya yang berupa ringkasan ini menggunakan judul seperti Mukhtasar, Syarh, dan Hâsyiyh untuk menunjukan bahwa karya-karya tersebut merujuk pada sumber terdahulu.[8]
Penulisan sîrah Nabi terus berlangsung selama 15 abad. Baik sarjana muslim, maupun orientalis terus berlomba dan terus melakukan penulisan terhadap segala aspek kehidupan Nabi. Sîrah yang ditulis oleh para sarjana tersebut telah menjadi pranata Islam yang unik. Sîrah Nabi merupakan suatu bagian integral dari hukum Islam, Sîrah adalah biografi, sekaligus sejarah, hukum dan tuntunan. Sehingga sîrah bisa bertahan sepanjang zaman dan mempunyai nilai kekal sebagai al-uswah al-hasanah bagi perilaku Muslim dan bukti praktis dari prinsip-prinsip serka ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’an. Selain itu, sîrah juga dijadikan sebagai sumber referensi untuk perumusan kebudayaan, pendidikan, sosial, politik, moral, serta tuntunan hidup muslim yang ideal.[9]
Setelah dinasti-dinasti besar Islam muncul, maka semakin nyata kebutuhan untuk mengetahui sejarah Nabi Saw. dan seluk beluk kehidupannya. Bersamaan dengan itu semakin banyak pula orang yang mengumpulkan informasi-informasi mengenai sosok Nabi Saw. dan mencatatnya. Menurut sumber-sumber sejarah, tokoh yang mempelopori penulisan Sîrah Nabawiyah adalah ‘Urwah bin al-Zubair bin al-‘Awwam (93 H), Abân bin ‘Utsmân bin ‘Affân (105 H),Wahab bin Munabbih (110 H). Selain itu ada Muhammad bin Ishâq (152 H) yang menulis sîrah sekaligus Maghâzi dan diringkas oleh Ibn Hisyâm (218 H). Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi (208 H) yang karya-karyanya banyak dikutip oleh Ibn Sa’ad (230 H).[10]
C. Model Penulisan Sîrah
Pertama, penulisan klasik atau tradisional. Model penulisan ini menggunakan pendekatan kronologis ditulis secara berurutan dan rinci sesuai dengan waktu terjadinya kisah atau peristiwa. Penulisan akan diawali dengan pengembaraan kehidupan di Arabia pra-kelahiran Nabi, kelahiran, masa kanak-kanan serta silsilah keluarga, perkawinan pertama, peneriman wahyu pertama, hijrah, isra mi’raj, beberapa perjanjiah, fath al-Makkah, Haji Wada’, wafat Nabi, hingga pemilihan khalifah pertama. Model penulisan ini adalah model penulisan sîrah yang sangat sederhana, akurat, dan tidak terlalu rumit untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar perikehidupan Nabi kepada komunitas umat.[11]
Peneliti pertama model klasik adalah Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan (105 H) yang menulis Maghazî, Aban mempunyai reputasi sebagai muhaddits dan faqih, pada tahun 71 H. diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan.[12] Generasi peneliti berikutnya adalah ‘Urwah ibn Zubair yang lahir sebelas tahun setelah Nabi wafat. ‘Urwah adalah orang yang menulis kitab lebih baik tentang sejarah Nabi, sehingga ia sering dipandang sebagai pendiri studi sejarah Nabi.[13] Namun sangat disayangan, sekarang karya ‘Urwah ini tidak sampai kepada kita. Karya ini hanya tinggal dalam bentuk kutipan pada karya sejarawan Muslim, yakni al-Tabari, Ibn Ishaq, al-Waqidi, Ibn Sayyid al-Naas dan Ibn Katsir.[14] Jejak mereka juga diikuti oleh Syurahbil ibn Sa’ad (123 H), Wahb ibn Munabbih (110 H), Abdullah ibn Abu Bakr ibn Hazm (130 H), ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah (120 H), serta yang lainnya.[15]
Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri adalah peneliti dan orang pertama yang memakai istilah sîrah, merekonstruksi sîrah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas, akan tetapi dia lebih memilih istilah Maghazî ketimbang sîrah sebagai judul karyanya. Format penulisan sîrah-nya mulai dari informasi sejarah pra-Islam yang relevan dengan Nabi Muhammad yakni masalah budaya, religi, sosial, polikit; aspek-aspek periode Mekkah dalam kehidupan Nabi sampai hijrah ke Madinah; kegiatan militer, penaklukan Mekkah; utusan-utusan Nabi ke beberapa wilayah; sampai pada sakit diambang wafatnya Nabi.[16] Langkah al-Zuhri dalam penulisan sîrah diteruskan oleh Musa ibn ‘Uqbah ( 141 H),[17] dan Ma’mar ibn Rasyid (154 H).[18]
Penghormatan kepada Nabi dan perhatian kepada rincian yang paling kecil pun dari perilaku serta kehidupan pribadinya terus berkembang. Dengan semakin jauhnya jarak waktu kehidupan umat Islam dengan Nabi, umat Islam ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai pribadinya, pandangan-pandangannya, perkataan-perkataannya, untuk meyakinkan mereka bahwa mereka telah mengikuti Nabi dengan cara yang benar. Sehingga bermunculanlah buku-buku yang sangat rinci mengulas pribadi bahkan sosok Nabi.
Penulisan sîrah juga terdapat dalam beberapa kitab hadis diantaranya; Dalâ’il al-Nubuwaah adalah koleksi pelopor tentang hujah-hujah Kenabian, kemudian dilengkapi dengan syama’il, karangan kesusateraan yang menjelaskan tentang sifat-sifat mulia dan ketampanan lahiriah Nabi. Dua dari karya dala’il dan syama’il yang paling awal disusun oleh Abu Nu’aim Al-Isfahani (1037 M) seorang sufi dan sejarawan, dan oleh al-Baihaqi (1066 M). Kedua kitab itu berisi bografi Nabi yang ditaburi oleh mukjizat-mukjizat yang mengitrinya.Namun, dua ratus tahun sebelum Baihaqi, Abu ‘Isa al-Tîirmidzî (892 M) menyusun syama’il al-Mustafa, kitab ini berisi bentuk lahiriah Nabi dan keagungan moralnya yang dilukiskan secara terinci, yang kemudian menginspirasi Qadhi Iyad untuk menulis Kitâb al-Syifa’ Ta’ri Huqûq al-mustafa yang sama-sama melukiskan kebesaran Nabi, kehidupannya, sifat-sifatnya, serta mukjizat-mukjizatnya.[19]
Hadis-hadis banyak memberikan deskripsi yang cukup komprehensif tentang sosok Nabi, baik dari segi fisik, maupun non fisik. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan Muslim, al-Tirmidzî, dan Ahmad ibn Hanbal, sosok Nabi digambarkan memiliki wajah tampan; matanya belo dengan hitam mata yang pekat dan putih mata yang bersih, bulu mata yang lentik, dan tampak seperti selalu memakai celak, padahal tidak; berjenggot lebat; memiliki dada yang bidang dan bahu yang tegap; berkulit bersih; lengan dan kakinya tampak kokoh; postur tubuhnya proporsional, tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek; tegap jika berjalan; jika ada yang memanggil, ia akan menengok dengan menghadapkan seluruh tubuhnya.[20]
Kedua, penulisan modern. Penulisan model ini tidak jauh berbeda dengan cara penulisan klasik tradisional. Karena karya-karya sîrah klasik dijadikan rujukan oleh oleh para peneliti modern. Buku-buku sîrah Nabi karya peneliti modern hampir bisa dipastikan tidak memuat fakta-fakta baru mengenai kehidupan Nabi. Mereka terkesan copy paste para peneliti pendahulunya.[21]
Peneliti sejarah yang masuk kedalam kategori ini antara lain adalah; Muhammad Husain Haikal dengan karyanya Hayâtu Muhammad, Martin Lings dengan karyanya Muhammad. Ada beberapa peneliti modern yang menulis sejarah Islam secara umum, yakni tidak terpokus kepada sîrah Nabi saja, diantaranya; History of the Arabs karya Philip K. Hitti, Islamic Dynasties karya E. Bosworth, The Venture of Islam karya Marshal Hodgson, Fajr Islam, Zuhr Islam & Dhuha al-Islam karya Ahmad Amin.
Husain Haikal dalam pembukaan bukunya memberikan penjelasan bahwa sîrah yang ditulisnya disusun dengan menggunkan metode ilmiah. Pemilihan metode ilmiah ini dilakukan haikal sebagai cara yang lebih baik menurut pandangan ilmu pengetahuan yang berlaku pada masa sekarang ini. Menurut Haekal, mayoritas buku-buku klasik ditulis dengan maksud ubudiyah, sedangkan sejarawan modern terikat pada metode dan kritik-kritik ilmiah. Haekal dengan keras mengkritik kalangan orientalis, Haekal mengatakan bahwa orientalis terjebak pada kesalahan mendasar, yakni salah memahami bacaan teks Arab.[22] Philip K. Hitti dengan karyanya History of the Arabs membahas bangsa Arab secara umum, dalam artian pembahasannya tidak hanya kisah Nabi Muhammad saja, dalam karya ini di ceritakan dari Arab pra-Islam sampai kepada dinasti Turki Ottoman.[23]
Ketiga, penulisan tematik. Cara penulisan model ini memang ada persamaannya dengan penulisan klasik dan modern, serta tetap menggunakan karya-karya peneliti pendahulunya. Bedanya, para peneliti sîrah Nabi dalam kategori ini lebih memilih tema-tema yang sesuai dengan tuntutan zaman, dan tidak ditulis secara kronologis dan tetap dalam krangka kritis dan rasional.[24]
Dalam kategori yang ketiga ini sebut saja nama, seperti Murtadha Muthari dengan karyanya Sire-ye Nabawi,[25] kemudian ada Ali Syari’ati dalam karyanya Rasulullah SAW sejak Hijrah hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah. Murtadha Muthahari dalam Siri-ye Nabawi sebenarnya adalah kumpulan ceramahnya tentang sejarah Nabi Muhammad yang sebagian disampaikan di Masjid Jami Pasar Teheran dan di Husiniyah al-Irsyad. Muthahari juga dalam buku ini memperkenalkan satu kajian ilmu sejarah sebagai sebuah parameter untuk mengkaji sejarah Nabi .[26]
D. Biografi Fethullah Gülen dan Kondisi Sosial disaat Penulisan Sîrah
Fethullah Gülen lahir pada tahun 1941 di sebuah desa kecil yang masuk wilayah provinsi Erzurum. Ayahnya, Ramiz Gülen, adalah imam di kawasan itu dan ibunya, Refia Gülen, merupakan seorang ibu yang penuh kasih sayang dan mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan karakter spiritual dan keagamaan Fethullah Gülen. Pendidikan formal Fethullah Gülen diawali di desa kelahirannya, dan setelah keluarganya pindah ke desa tetangga, Gülen mulai belajar tentang agama secara informal dari ayahnya sendiri, serta beberapa guru sufi seperti Muhammad Lutfi Effendi, Haci Sıtkı, Sadi Effendi, dan Osman Bektaş. Latar belakang pendidikan agama Gülen dipenuhi dengan nilai-nilai kebajikan yang dicontohkan secara langsung oleh para pendidiknya.[27]
Gülen mendapatkan izin untuk mengajar pada usia 21 tahun di daerah Edirne, namun ia diperbolehkan untuk mulai mengajar lebih awal di Erzurum yang disebabkan oleh prestasinya yang mengagumkan sebagai siswa. Khutbah dan kajian Hoca effendi (sebutan dari murid-muridnya) diikuti oleh kebanyakan mahasiswa dan intelektual. Cara penyampaian serta penggunaan bahasa Turki yang fasih telah menarik perhatian dan menghadirkan kesan yang mendalam bagi para pendengarnya sehingga akhirnya reputasinya meningkat pesat di daerah barat Turki. Dakwah Gülen tidak hanya dilakukan di mesjd-mesjid, tapi juga di kedai-kedai kopi. Murid-muridnya pun sangat beragam,ini karena keluwesan Gülen dalam berdakwah serta tema-tema yang disampaikan sangat menarik dan tidak ortodoks, tidak hanya masalah-masalah keagamaan kajiannya pun membahas darwinisme, ilmu pengetahuan alam, ekonomi, sosial, serta pendidikan.[28]
Pada tahun 1960 kelompok pengajian Gülen berkembang dengan pesat. dengan dukungan dari mayoritas penduduk Turki Gülen dan lembaganya berdawah dengan mendirikan mengajar dan mendirikan sekolah-sekolah swasta di berbagai negara diseluruh dunia; menerbitkan buku dan majalah; koran harian dan mingguan; siaran telivisi dan radio; mendanai beasiswa; menghindari politik.[29]
Gülen telah menggerakkan roda perubahan sosial dengan sepenuhnya menggunakan potensi gerakan non-kekerasan masyarakat Turki yang sangat loyal pada ide-idenya. Gülen menjabarkan situasi sosial masa kini dengan sangat jernih dan menunjukkan sarana untuk mengatasi masalah kemiskinan, kebodohan serta perpecahan antar berbagai kelompok masyarakat. Langkah pertamanya adalah mengurangi angka buta huruf serta meningkatkan kualitas pendidikan. Gülen juga memobilisasi kalangan bisnis, pengusaha dan orang-orang kaya untuk mendanai berbagai institusi pendidikan yang kini sering disebut sebagai “Gülen Schools”, seperti asrama untuk para pelajar dan mahasiswa, lembaga bimbingan belajar untuk masuk perguruan tinggi, sekolah serta pada akhirnya universitas yang menitikberatkan pada sains dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pertengahan dekade 80-an, Fethullah Gülen membuat visi tentang bagaimana mewujudkan “better world through a better education.” Hal ini melahirkan sebuah proposal baru bagi para pendukungnya untuk membuka sekolah-sekolah di Asia Tengah yang akan segera lepas dari Uni Sovyet. Diplihnya negara-negara baru ini karena kedekatan etnik dengan orang-orang Turki Anatolia. Visi inipun akhirnya tersebar ke seluruh dunia, dengan mendorong para pengikutnya untuk membuka dan mendanai institusi-institusi pendidikan di dunia yang membutuhkannya.[30]
Sebagai warga negara Turki, Gülen mengikuti wajib militer di Mamak dan Iskandruna. Setelah itu, ia kembali ke Edirne. Dari sana ia ke Qarqilar Uli, lalu ke Izmir pada tahun 1966. Pada 12 Maret 1971 Gülen ditahanl. Ia ditutuduh berusaha mengubah prinsip-prinsip sosial, politik, dan ekonomi yang berlaku kala itu serta mengembuskan semangat keagamaan kepada masyarakat, yaitu makar membentuk organisasi rahasia. Ia ditahan selama 6 bulan, dan keluar berkat pemberian amnesti. Dan Gülen kembali ke Izmir mnjalani ativitas semula, yakni berdakwah.[31]
Sejak tahun 1990-an, Gülen aktif memulai sebuah gerakan yang mempelopori dialog antar agama dan pemikiran dengan cara damai. Ternyata gerakannya itu diterima secara luas, baik di Turki maupun diluar. Dialog perdamain Gülen mencapai puncaknya ketika ia diundang oleh Paus Pope John Paul di Vatikan tahun 1998.[32]
Pada dekade terakhir 1990, Gülen bersama anggota komunitasnya membentuk organisasi bantuan kemanusiaan yang beroperasi secara global, lintas negara, agama dan budaya. Pada dekade ini juga, Gülen memulai dialog dengan seluruh kelompok agama di Turki. Usaha ini akhirnya diperluas hingga ke skala global untuk merangkul lebih banyak pihak yang terlibat dialog, dan diharapkan akan meningkat ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Fethullah Gülen meyakini bahwa keberlangsungan perdamaian dunia tidak akan bisa dicapai tanpa dialog dan komunikasi yang tulus.
Pada pertengahan tahun 1990-an, gerakan yang diinisiasi oleh Fethullah Gülen telah berkembang pesat hingga suatu tingkat di mana berbagai label mulai disematkan padanya, seperti “Gerakan Gülen” atau “Jama’ah Fethullah Gülen” seperti yang dipakai oleh banyak media massa. Gerakan Gülen sepenuhnya mendanai seluruh aktivitasnya melalui sumbangan dari masyarakat umum dan tidak menerima bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun. Hal ini membantunya untuk senantiasa terhindar dari korupsi dan politik.
Saat ini Fethullah Gülen berdiam di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Gülen menderita berbagai gangguan kesehatan yang menyebabkannya hidup dengan sangat sederhana. Jika kesehatannya membaik, Gülen bisa menerima tamu dan memberikan nasihatnya kepada para pendengarnya.[33] Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan keberkahan terhadapnya.
E. Mengenal Sirah Nabi Karya Fethullah Gülen
Buku sîrah yang dijadikan peneliti sebagai objek penelitian berjudul lengkap An Analysis of the Prophet’s Life Muhammad The Messenger of God karya Muhammad Fethullah Gülen diterbitkan diterbitkan di New Jersey oleh penerbit Tughrabook terbit tahun 2005, buku ini adalah edisi revisi dari buku sebelumnya berjudul Prophet Muhammad:Aspect of His Life terbit tahun 2000, yang merupakan terjemahan dari bahasa Turki Sonsuz Nur: Insanlgin Iftihar Tablasu terbit tahun 1993. Tahun 2007 terbit dalam versi bahasa Indonesia dengan judul Versi Terdalam: Kehidupan Rasul Allah Muhamad Saw. Sîrah Nabi yang ditulis Gülen ini adalah hasil kompilasi dari khotbah jum’at sejak tahun 1989 sampai pertama kali diterbitkan dalam bahasa Turki tahun 1993.
Metode yang digunakan dalam sîrah karya Gülen ini menggunakan metode tematik, Gülen terlebih dahulu menentukan tema dari aspek kehidupan Nabi kemudian menguraikan kisah Nabi seputar aspek yang sedang dibahas itu. Jadi dalam sîrah ini tidak seperti penulisan sîrah lainnya yang ditulis berdasarkan kronologis tahun terjadinya peristiwa.
Sîrah ini berisi 13 bab yang menjelaskan aspek dari kehidupan Nabi. Pembahasan pertama diawali dengan penjelasan perlunya Nabi diutus, kenabian itu sidiq dan amanah, kenabian itu menyampaikan dakwah dengan cerdas, kenabian itu bebas dari kesalahan dan Nabi memiliki kesempurnaan fisik. Tulisan selanjutnya berisi aspek-aspek dari kehidupan Nabi; Nabi sebagai seorang suami dan ayah; Nabi sebagai pendidik; Dimensi militer; Perang-perang di masa Nabi; Nabi pemimpin Universal; Dimensi lain dari kenabian, berisi tuntunan Nabi mengenai Shalat, do’a, dan akhlak Nabi; di tiga bab akhir bukunya Gülen membahas mengenai sunnah dan kedudukannya dalam Islam, penyampaian hadis, para sahabat dan tabi’in.
Sumber yang digunakan Gülen adalah Qu’arn dengan beberapa tafsirnya, hadis dengan berbagai kitab matannya yang telah dikategorikan sahîh, berbagai macam biogrfi sahabat seperti al-Isabah, Kanz al-‘Ummal, dan sîrah seperti al-Bidayah wa al-Nihayah, Sîrah Ibn Hisyâm. Gülen mengutip al-Qur’an serta hadis dalam penuturan kisahnya, serta memberikan footnote untuk informasi yang dia ambil dari sumber aslinya.
Gülen mengkritik kisah-kisah Nabi yang merendahkan derajat kenabian, yakni kisah-kisah Nabi yang bersumber dari dongeng atau puisi yang menurut Gülen tidak berhubungan dengan sîrah dan tak memiliki landasan ilmiah. Misalnya kisah tentang teguran Allah kepada Nabi tentang sikpanya yang bermuka masam dan berpaling.
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah). Maka kamu mengabaikannya. (QS. ‘Abasa: 1-10)
Al-Tabarî dalam tafsirnya menjelaskan asbâb al-nuzûl ayat ini dengan hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, suatu ketika Rasulullah sedang menyampaikan risalah secara mendalam dan sungguh-sungguh kepada pemuka-pemuka kafir Quraisy, kemudian datang seorang buta Ibn Ummi Maktum. Dia ingin mendapatkan manfaat dari ajaran Rasulullah, tetapi Rasul tidak menyukai interupsinya dan Rasul berpaling darinya. Kemudian turunlah surat di atas.[34]
Gülen mempertanyakan kembali tentang kisah awal mula turunnya ayat ini, dengan argumen yang jelas. Beberapa ayat menjelaskan bagaimana Nabi-nabi terdahulu bersikap terhadap orang miskin. Tidak dapat dibayangkan bagi seorang Nabi yang selalu menasihati pengikutnya untuk bersama-sama orang miskin akan bermuka masam atau berpaling dari seorang lelaki miskin buta khususnya ketika dia datan untuk mendengarkan ajarannya.
Menurut Gülen teguran yang dimuat dalam ayat ini terlalu berat untuk seorang Nabi. Kata kerja bermuka masam dan berpaling tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an untuk seorang Nabi; karena dhamir hu dalam ayat ini dipakai untuk kata ganti orang ketiga tunggal, ini berarti Nabi tidak merendahkan Ibn Ummi maktum. Selanjutnya, ekspresi berikutnya adalah tipe yang dipakai untuk para pemuka Quraisy. Jadi Gülen berkesimpulan bahwa sasaran teguran itu tidak mungkin ditujukan kepada Nabi.[35]
Pada akhir pembahasan dalam beberapa aspek yang dibahas dalam sîrah ini, Gülen selalu menghubungkannya dengan isu-isu kontemporer, misalnya ketika membahas “pemimpin universal” disinggung mengenai “rasisme”.[36]
F. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka kesimpulan utama dari penelitian ini bahwa Fethullah Gülen telah meletakan tradisi baru dalam penulisan sîrah Nabi. Argumen ini bisa peneliti buktikan setelah membandingkannya dengan beberapa karya-karya sîrah Nabi lainnya.
Dari tiga kategori metode penulisan sîrah Nabi, yakni penulisan klasik, penulisan modern, dan penulisan tematik, Gülen memilih menggunakan metode penulisan tematik dalam bukunya, An analysis of the Pophet’s Life Muhammad The Messenger of God.
Sîrah Nabi karya Fethullah Gülen ini berbeda dengan karya serupa yang ada sebelumnya, dalam karya ini Fethullah Gülen lebih mengedepankan beberapa aspek dalam kehidupan Nabi. Hal ini mempermudah pembaca untuk memahami dan mengikuti jejak ajaran Nabi pada masa sekarang ini.
[1] Yusri Abdul Ghanraphoi Abdullah, Historiografi Islam Penerjemah Sudrajat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) h. 2
[2] Muhammad Mohar Ali, The Biography of The Prophet and The Orientalist (Madinah: Islamic University, 1997) h. 8
[3] Murtadha Muthahari, Sîrah Sang Nabi Penerjemah. Salman Nano (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 8
[4] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam; Kehidupan Rasul Allah Muhammad SAW (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.VI
[5] Yusri Abdul Ghanraphoi Abdullah, Historiografi Islam.....h. 2
[6] Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Ibn Khaldun mengecam para sejarawan muslim pertama seperti Ibnu Ishâq (152 H), Al-Tabarî (310 H), Al-Mas’ûdi (346 H), Menurutnya, para sejarawan tersebut sekedar mencatat apa yang mereka dengar dan lihat tanpa mengkritisinya. Lihat Yusri Abdul Ghanraphoi Abdullah, Historiografi Islam.....h. 3
[7] Yaqût bin Abdullah, Mu’jam al-Buldân (Kairo: Dâr al-Fikr, tt.)
[8] Lihat al-Mas’ûdi, Murûj al-Dzahab, http://www.alwarraq.com,
[9] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h. VII
[10] Lihat Ibn Sa’ad, Al-Thabaqât al-Kabîr (Beirut: Dâr Shâdir, tt.)
[11] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h.
[12] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiogragraphy (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i, 1979), h. 217
[13] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h. IX
[14] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiogragraphy..., h. 224-225
[15] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h. IX
[16] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiogragraphy.., h. 236
[17] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiogragraphy..., h. 262
[18] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiogragraphy..., h. 271
[19]Annemarie Schimel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah penerjemah; Rahmini Astuti dan Ilyas hasas, (Jakarta: Mizan, 1991), h. 52-53
[20] Untuk mendapatkan gambaran seperti ini dapat dirujuk dalam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003). al-Timidzî, al-Syamâ’il al-Muhammadiyah (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005). Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillah al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Mu’asasah Qurtubah, tt.)
[21] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h. X
[22] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1990), cet. ke-12.
[23] Philip K. Hitti, History of the Arabs Penerjemah. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005).
[24] Azyumardi Azra, Kata Pengantar Versi Terdalam.....h. XII
[25] Murtadha Muthahari, Sirah Sang Nabi Penerjemah Salman Nano, (Jakarta: Al-Huda, 2006)
[26] Murtadha Muthahari, Sirah Sang Nabi ..., h. V
[27] Buluh Kecil, Biografi Fethullah Gülen , diakses tanggal 24 November 2011 pukul 10.18 Wib dari http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/
[28] Fethullah Gülen , An Analysis of the Prophet’s Life The Messenger of God Muhammad (New Jersey: Tughra Books, 2011) h. xi
[29] Fethullah Gülen , Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah......., h. XVI
[30] Buluh Kecil, Biografi Fethullah Gülen , diakses tanggal 24 November 2011 pukul 10.18 Wib dari http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/
[31] M. Fethullah Gülen, Islam Rahmatan lil ‘âlamîn (Jakarta: Republika, 2011) h. xiv
[32] Fethullah Gülen , An Analysis of the Prophet’s Life..., h. xiii
[33] Buluh Kecil, Biografi Fethullah Gülen , diakses tanggal 24 November 2011 pukul 10.18 Wib dari http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/http://buluhkecil.wordpress.com/2011/07/22/biografi-fethullah-Gülen/
[34] Ibn Jarir al-Tabari, Jâmi al Bayân fi Tafsir al-Qur’an (Mu’asasah al-Risâlah, 2000), juz. 24, h. 217
[35] Para penafsir Qur’an menambahkan setelah kejadian itu tiap kali Rasulullah melihat Ibn Ummi Maktum Nabi akan menyapanya, “Salam bagimu wahai orang yang membuat Allah menegurku.” lihat Fethullah Gülen , An Analysis of the Prophet’s Life..., h. 149
[36] Fethullah Gülen , An Analysis of the Prophet’s Life..., h. 277
- Dibuat oleh