Tentang Gerakan Sosial pada Umumnya
Sampai saat ini belum ada kesepakatan ilmiah tentang definisi gerakan sosial. Dalam beberapa literatur terdapat sejumlah perbedaan terkait dengan klasifikasi aktor kolektif yang dida-sarkan pada hasil, struktur, kepemimpinan, karakteristik masyarakat dan ideologi dunia. Perbedaan dalam klasifikasi itu disebabkan oleh faktor-faktor pemicu gerakan muncul dalam berbagai kondisi sosial. Hal ini sebagai respons terhadap berbagai tuntutan, terhadap ketersediaan sumber daya dan tekanan dari luar yang memunculkan sebuah tindakan.
Namun, berbagai teori gerakan sosial kontemporer juga didasarkan pada premis dari tradisi masyarakat. Hal ini merupakan pendekatan awal terhadap teori-teori ilmu sosial. Selain itu, para ilmuwan sosial menggunakan konsepsi yang banyak dipengaruhi oleh peranan politik atau ideologi mereka sendiri. Banyak di antara mereka dipengaruhi berbagai pengalaman dalam gerakan yang bermusuhan pada tahun 1960-an dan 1970-an di Eropa Barat dan Amerika Utara. Akibatnya para ilmuwan ini menjadi terbagi-bagi. Bahkan terdapat antagonisme di antara mereka. Sebagian dari mereka saling mendukung sedangkan sebagian lainnya seolah-olah tidak melihat ada alternatif lain yang berharga untuk diper-timbangkan.
Sebagai respons atas perubahan konteks sosial dan sejarah, terutama sejak tahun 1980-an, generasi baru para ilmuwan sosial telah membawa pengalamannya dalam kerja sosial mereka. Hal ini kemudian melahirkan definisi yang berbeda tentang gerakan sosial. Pendekatan terbaru tentang gerakan sosial telah menghapuskan sebagian karakteristik dari teori-teori lainnya atau menambah be-berapa kriteria baru. Namun sebagian kriteria atau kiasan telah digeneralisasi secara berlebihan. Dalam hal ini, penggunaan istilah yang sama juga ditemukan dengan pengertian yang berbeda atau istilah berbeda, sehingga pengertiannya menjadi rancu.
Pada Bab 1, penulis mengkaji ulang berbagai pendekatan kontemporer untuk mengidentifikasi berbagai perbedaan di antara beragam pendekatan, tema, dan kriteria. Penulis berpendapat bahwa berbagai teori gerakan sosial yang menggunakan pende-katan bermusuhan dan berkonflik tidak sesuai dengan gerakan sosial yang diinspirasi oleh kepercayaan seperti Pencerahan Gülen.
Menurut penulis, untuk mendapatkan hasil yang akurat dalam membedah gerakan ini, harus menggunakan pendekatan sinkretik yang memadukan berbagai perangkat analitis dari berbagai teori. Penulis juga menggarisbawahi perlunya kehati-hatian dalam menjelaskan kekhususan di tingkat lokal seperti sejarah, budaya, dan sosial politik sebelum ”berpetualang” mengumumkan kemun-culan, watak, keberlanjutan dan kemungkinan hasil tindakan kolektif dalam Pencerahan Gülen.
Pada Bab 2, penulis menjelaskan secara naratif tentang kronologi perkembangan sosial-politik utama di Turki kontem-porer. Pada tahun-tahun awal rezim Republik, dijelaskan mengenai proses sosial, politik dan budaya yang membentuk faktor-faktor yang relevan untuk memahami kondisi sebenarnya. Kondisi yang terkait dengan keberlanjutan mobilisasi dan kontramobilisasi yang terjadi di Turki saat itu. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami keunikan-keunikan sebab-sebabnya, apa yang terjadi, apa yang lazim dan apa yang bertahan dalam masyarakat Turki. Untuk itu, telah dijelaskan secara mendalam terkait berbagai masalah khusus di masyarakat Turki. Di antaranya apakah konteks sosiopolitik memungkinkan dan menyebabkan berbagai pilihan dan contoh organisasi tersedia untuk masyarakat Turki?
Narasi tersebut telah menjelaskan kapasitas terbatas para elite berkuasa dalam mengimplementasikan kebijakan, termasuk di dalamnya sikap represi dan bias dalam penegakan keadilan dan media. Hasilnya adalah terjadinya blokade, krisis sistemik, ketidakstabilan pemerintah, perpecahan yang akut dan polarisasi di masyarakat, dan mengentalnya kepentingan pribadi. Pada sisi lain para elite terus melakukan pembenaran atas tindakan yang represi dan otoritarian terhadap para penentangnya.
Perkembangan baru menunjukkan adanya kemajuan kecil dalam demokratisasi institusi dan modernisasi ekonomi yang bermanfaat terhadap kemajuan bangsa secara keseluruhan. Tujuannya untuk mengarahkan bentuk tindakan kolektif yang baru agar efektif, non-politik dan damai seperti yang dilakukan oleh Pencerahan Gülen.
Mustafa Kemal Atatürk menerapkan strategi modernisasi dan westernisasi melalui partai politiknya, Republican People’s Party. Partai politik ini memonopoli institusi-institusi negara yang mengontrol ketat struktur militer dan sipil, termasuk di dalamnya seluruh kantor urusan agama dan pendidikan. Para elitenya membentuk dan mengarahkan kader negara-bangsa dengan kekuasaan satu partai. Kelompok proteksionis ini berkolaborasi dengan anggota media dan dunia bisnis untuk keuntungan timbal-balik. Mereka membentuk sebuah kelompok kaya yang mengambil kontrol Stated-owned Economic Enterprises (SEEs), kemudian mengubahnya melawan kompetisi sektor swasta dan mendominasi kegiatan usaha dan ekonomi, termasuk di bidang politik.
Sebagai pembela status quo di Turki, kelompok proteksionis ini—pada akhirnya diakui dan dicap sebagai ’deep state’. Mereka telah membuktikan dirinya sebuah gerakan yang berkonflik dan eksklusif, memobilisasi secara terus-menerus selama bertahun-tahun terhadap aktor-aktor demokrasi. Walaupun jumlahnya sedikit dan tidak merefleksikan berbagai pandangan mayoritas bangsa Turki, tetapi mereka berkuasa dengan mengendalikan birokrasi dan eksekutif. Pengaruh mereka lebih kuat dibandingkan pemerintah ataupun parlemen yang dipilih secara demokratis. Oleh karena itu, mereka telah melakukan kontramobilisasi sebagai sebuah kelompok ideologis terhadap perwakilan terpilih dan masyarakat sipil. Menurut mereka, masyarakat yang bebas, demokratis, dan ekonomi liberal akan mengganggu kepentingan kelompok mereka. Mereka telah mempolarisasi masyarakat, melakukan segmentasi masyarakat, meningkatkan ketegangan sosial dan merekayasa kondisi untuk melakukan intervensi politik dan pengambilalihan kekuasaan politik secara militer.
Pembenaran atas tiga kudeta pada tahun 1960, 1971 dan 1980 adalah bukti demokrasi parlementer telah dilumpuhkan oleh korupsi yang merajalela dan perselisihan sosial sehingga negara terancam. Apa yang disebut kudeta ’pascamodern’ atau kudeta ’tidak berdarah’ pada tahun 1997 dan melancarkan Peristiwa Februari 28 dibenarkan dengan alasan negara di bawah ancaman dari ’kekaburan’ perbedaan antara sekuler dan antisekuler’. Sebenarnya hal ini merupakan sebuah tabir yang menutupi penyuapan secara masif dan korupsi yang endemik pada sistem politik dan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah kepala eksekutif dan penasihat teras bank dan korporasi yang terlibat dalam korupsi, termasuk mantan jenderal.
Setiap kudeta memiliki pola yang sama. Mulai dari adanya kerusuhan sipil dan tumbuhnya radikalisasi, rektor-rektor perguruan tinggi dan tokoh media terkemuka berbicara melawan pemerintahan parlementer. Selanjutnya masyarakat sipil menyerukan agar adanya tindakan yang kuat dari pihak militer untuk memulihkan gangguan. Gangguan itu di antaranya adalah pemogokan, kekerasan di jalan-jalan, pembunuhan dan pengeboman yang dilakukan teroris. Elite proteksionis akan mengklaim rezim ini berada di bawah ancaman, militer akan naik untuk melaksanakan ’tugasnya’ dan mengambil alih kontrol atas negara.
Kudeta di Turki telah merestrukturisasi sistem politik dan ekonomi serta menentukan batasan-batasan lingkup sipil dan militer. Batas-batas ini adalah hambatan untuk perubahan dan proses demokratisasi. Setelah terjadi kudeta, sebelum transisi ke penguasa sipil, elite proteksionis menyeleksi dewan konsultatif untuk menyusun konstitusi baru. Hal ini membentuk penguasa baru, di mana peranan, norma dan institusi statis dalam hal ini pihak elite, mereka mengonsolidasi diri sendiri. Periode ’demokrasi terpimpin’ dengan badan politik dan partai politik yang diberi ’lisensi’ atau diberi ’akreditasi’ berada di bawah pengawasan presiden baru atau Dewan Keamanan Nasional.
Privatisasi dan upaya demokratisasi diberangus oleh pemerintah, komite antarparlemen atau oleh pengadilan yang ditunjuk oleh Presiden. Hal ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu berbagai institusi lain menjalankan kekuasaan di atas pemerintahan atau parlemen yang terpilih. Karena pemimpin terpilih tidak dapat mengatasi oposisi dari berbagai institusi dan harus mengikuti kekuasaan kehakiman, mereka tidak dapat melakukan proses privatisasi. Dengan demikian demokratisasi dan daya guna politik tidak tercapai. Inilah yang menjadi sebab mengapa sebuah pemerintahan liberal yang akan memperkuat masyarakat sipil, membela hak-hak asasi manusia, mempromosikan demokrasi partisipatorik dan juga merespons aspirasi politik publik, tidak pernah terwujud di Turki. Para elitis atau intervensi militer telah menurunkan kemajuan yang sangat kecil ke arah demokrasi riil di Turki.
Namun, sejak tahun 1940-an, walaupun ada keterbatasan hukum, komunitas di bawah inspirasi agama yang damai dan gerakan masyarakat sipil telah eksis dan memperluas layanan mereka di tengah masyarakat. Sekitar tahun 1991 ketika Blok Timur ambruk, Presiden Özal dan organisasi masyarakat sipil independen bekerja untuk membangun hubungan kerja yang erat secara komersial dan politik dengan negara-negara Balkan dan Asia Tengah. Sebuah pemahaman layanan budaya baru dan di bawah inspirasi kepercayaan mulai muncul. Pada waktu itu Pencerahan Gülen sudah berdiri mandiri sebagai suatu yang paling menonjol dan terinstitusionalisasi selaras dengan konsep layanan budaya baru tersebut. Para partisipan termobilisasi melalui sintesis budaya baru, pendidikan, dialog dan kerja sama untuk tujuan nonpartisan dan perdamaian.
Pencerahan Gülen telah ada selama lebih dari dua puluh tahun. Padahal sebelumnya menjadi sasaran kepentingan media yang anti terhadap gerakan ini. Para partisipan telah menyelenggarakan sekolah swasta sekuler, bimbingan belajar, asrama mahasiswa dan sistem beasiswa dan lembaga penerbitan. Kemudian sejak itu telah terbentuk lebih banyak SMO–stasiun TV dan radio, surat kabar dan penerbitan periodik, ratusan institusi pendidikan sekuler dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pusat budaya dan institusi dialog antarkepercayaan, rumah sakit, organisasi bantuan dan kemanusiaan. Secara luas kinerja mereka telah diakui baik di dalam maupun di luar Turki. Pengakuan ini telah menimbulkan rasa takut di dalam Turki, mereka melakukan perlawanan dengan mewacanakan krisis mengenai Islam atau umat Islam dengan memasukkan kecemasan yang sudah dikemas ke dalam agenda nasional dan menggunakan krisis itu untuk menyembunyikan korupsi dan pelanggaran hukum dari kegiatan mereka sendiri.
Sebenarnya, beberapa jajak pendapat hingga sekarang mem-perlihatkan sebagian besar rakyat Turki tidak menghendaki tatanan politik dan hukum yang didasarkan pada hukum agama. Populasi Turki dilahirkan di dalam tradisi Republik, sekuler dan sangat nyaman dengan premis dasar ini. Pada tahun 1980-an, partai-partai politik Islam tidak pernah mendapatkan lebih dari sepersepuluh suara pemilih nasional. Hasil survei dan bukti dari pemilu tersebut, menjadi alasan bagi rezim berkuasa untuk mengeluarkan peringatan kepada kelompok Islamis. Namun, faktanya gerakan pelayanan publik yang terinspirasi kepercayaan agama telah terjadi dalam masyarakat Turki kontemporer. Mereka tidak menggunakan gerakan untuk membangun sebuah negara Islam di Turki.
Latar belakang sejarah yang dipaparkan di Bab 2 mem-perlihatkan bahwa mobilisasi dan kontramobilisasi di Turki tidak secara rapi memetakan sosiopolitik dan historis ke dalam paradigma umum berbagai teori gerakan sosial kontemporer. Oleh karena itu, Bab 3 menggunakan berbagai perangkat analitis dari teori-teori ini untuk memahami mobilisasi dari Pencerahan Gülen dan kontra-mobilisasi oleh lawan-lawannya.
- Dibuat oleh