Bekali Diri dengan Ilmu Pengetahuan
Semua jenis ilmu mempunyai definisi tersendiri, dan setiap pengamalan juga mempunyai caranya tersendiri. Tanpa mengetahui definisi dan cara pengamalannya, maka seseorang tidak patut membicarakan satu bidang ilmu apa pun, serta tidak patut pula membicarakan pengamalannya sedikit pun. Disebabkan masalah dakwah adalah tugas seorang muslim saja, maka untuk pelaksanaannya ia mempunyai berbagai pokok dan cara tersendiri pula. Setiap dakwah yang tidak mengindahkan cara-cara yang telah dituntunkan, maka tidak akan ada keberhasilannya sedikit pun, selain kesia-siaan. Apabila padanya ditemukan sejenis keberhasilan, maka nilai keberhasilan itu tidak akan pernah berlangsung lama.
Dalam kesempatan ini perlu saya sampaikan berbagai cara berdakwah, meski sesungguhnya tata cara berdakwah tidak hanya terbatas seperti apa yang saya sampaikan saja. Sebab, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah bagian-bagian terpentingnya saja. Sedangkan secara lengkap dapat ditemukan di dalam firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw., yang memberi penjelasan tentang cara berdakwah secara lebih luas serta komprehensif.
Setiap da‟i yang menegakkan amar ma‟ruf nahi nunkar, disyaratkan harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat. Terutama, mempunyai pengetahuan tentang ilmu agamanya. Sehingga ia dapat menerangkan seputar ajaran agamanya itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan orang lain lari (menjauh) dari ajaran agama yang disampaikannya. Yang demikian itu tidak lain karena da‟i-nya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran.
Saya akan terangkan sedikit saja tentang ilmu ini, terutama yang terkait dengan dakwah. Juga akan dijelaskan cara pengamalannya. Sebenarnya ilmu di alam semesta ini laksana mihrab bagi Nabi Allah Adam as. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul setelah beliau. Jika demikian, apakah makna ilmu yang sesungguhnya? Arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta, kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain. Dan hendaknya mereka meyakini, bahwa Tuhan kita mempunyai sifat-sifat dan nama-nama Yang Mahamulia. Berikutnya, hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benar pengenalan. Adapun ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” sebenarnya ucapan sebenar ini sangat dalam artinya, bahkan hampir sama derajatnya dengan sabda Nabi, meskipun sebenarnya ia bukan termasuk jajaran di dalam sabda Nabi. Akan tetapi, Al-Qur‟an mendukungnya sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini, “Dan janganlah engkau seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (QS al-Hasyr [59]: 19).
Jika kalian melalaikan Allah, maka pasti Allah akan melalaikan kalian. Jika kalian telah dilalaikan oleh Allah, maka sudah tentu kalian akan jauh dari sisi-Nya. Sehingga kalian akan menjadi orang yang terasing, bahkan kalian tidak akan ingat kepada diri kalian sendiri. Siapa saja yang telah masuk ke dalam lingkaran setan, maka ia akan sangat berat untuk bisa melepaskan dirinya dari lingkaran itu. Bahkan ia akan menjauh dari ajaran Al-Qur‟an dan sunnah-sunnah Nabi-Nya.
Janganlah kalian melupakan Allah Swt. sedetik pun, agar kalian tidak dilupakan oleh-Nya kapan saja. Sebab, jika kalian telah lalai dari mengingat Allah, maka kalian akan menjauh dari sisi-Nya. Berapa banyak orang yang rajin membicarakan Al-Qur‟an dan ajaran Islam, akan tetapi ia justru menunggu orang lain yang mengerjakannya? Bahkan, ada sekelompok orang yang justru melupakan ajaran Islam dengan menghinakannya di rumahnya sendiri. Berapa banyak orang yang mengelu-elukan ajaran Al-Qur‟an dan al- Sunnah, akan tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri? Sehingga mereka tidak pernah mengamalkan ajaran Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
Perumpamaan kita di dalam kehidupan ini sama dengan seseorang yang tengah mendaki ke sebuah bukit yang tinggi. Kalau kita tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki kita di posisi yang sebenarnya, maka sudah tentu kita akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke jurang, yang itu bisa menyebabkan kebinasaan diri kita. Berapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya sendiri? Terutama pada saat mereka berada di tempat-tempat suci seperti di tempat ibadah, di masjid, di Ka‟bah, di Raudah dan lain sebagainya. Sungguh amat mengherankan betapa banyak di antara mereka orang-orang yang melalaikan dirinya sendiri di tempat-tempat yang suci seperti itu. Sungguh, alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.
Setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika ilmu tidak mendorong seseorang (pemiliknya) untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya. Sebab, ilmu harus menjadi sumber kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Jika seseorang telah kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya sama sekali tidak berguna bagi dirinya. Adapun ilmu yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur‟an dan al- Sunnah untuk menuntutnya adalah ilmu yang dapat mengenalkan seseorang kepada Tuhannya. Selain itu, Al-Qur‟an dan al-Sunnah tidak menganjurkan untuk mengetahuinya (tidak mewajibkan untuk menuntut ilmu tersebut).
Sehubungan dengan pembahasan kita kali ini, maka kita perlu memahami seputar berbagai ayat dan hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah „Azza wa Jalla di dalam firman-Nya berikut ini, “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-orang yang mau menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran,” (QS al-Zumar [39]: 9).
Firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan kepada kita, bahwa ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Orang yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami isinya laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan sempat memetik segaris pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa Al-Qur‟an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu pun menjadi tidak berguna bagi seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh dengan seorang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu menyebabkan ia mengenal Allah. Sebagaimana Allah „Azza wa Jalla telah berfirman, “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (Qs. Fâthir [35]: 28).
Jelas sekali bahwa firman Allah Swt. di atas memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan bersikap khusyu‟ terhadap Tuhannya. Firman Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini, “Sesungguhnya para ulama itu adalah para pewaris para Nabi.”[1]
Menurut hadis di atas dapat kita simpulkan, bahwa ada sekelompok manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita --sebagai umat beliau-- tidak sampai pada tingkatan seperti mereka. Kita dapat mengenal Allah „Azza wa Jalla melalui perantaraan cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Sebab, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang meluncur melalui lisan para Nabi dan Rasul.
Adakalanya sebagian orang dapat mengenal Allah melalui usaha maupun jerih payahnya sendiri. Akan tetapi, untuk lebih mengenal Allah dengan jelas dan gamblang tidak dapat ditembus oleh seorang pun, kecuali melalui petunjuk-petunjuk dari para Nabi dan Rasul. Sebab, mereka adalah para pihak yang telah mendapatkan warisan pengetahuan langsung dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui.
Strata selanjutnya (setelah mereka) adalah para hamba Allah yang shalih, yang oleh Al-Qur‟an diisyaratkan bahwa mereka itu merupakan pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah dan firman Allah di atas sangat terkait erat, karena hamba-hamba Allah yang shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalîfah Allah di muka bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pewaris para Nabi, bukan yang lain. Sebab, para Nabi adalah penyampai pilihan atas firman-firman Allah.
Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena, para ulama adalah pewaris para Nabi, hingga mereka juga mengenal Allah Swt. dengan baik, yang berbeda dengan kaum kebanyakan (awam). Semua itu disebabkan oleh kedudukan seorang yang berilmu lebih utama dari yang lain. Hingga Rasulullah Saw. pernah bersabda secara khusus mengenai hal ini, “Keutaman seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaanku di atas orang-orang yang paling rendah di antara kalian.”[2]
Sesungguhnya orang-orang yang ahli ibadah, namun tidak memahami atas ibadah yang selalu mereka lakukan, maka pada umumnya mereka mudah untuk disesatkan setiap waktu oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Sebab, hubungan mereka dengan Allah „Azza wa Jalla tidak terlalu erat disebabkan ketidakmengertian mereka atas apa yang mereka lakukan. Di antara mereka ada yang merasa hanya diawasi oleh Allah, sehingga mereka berlaku baik. Akan tetapi, pada kesempatan yang berbeda mereka menyimpang dari jalan yang benar akibat ketidakpahaman mereka akan baik dan buruk. Padahal, di sekitar mereka terdapat cukup ulama yang mewarisi ilmu para Nabi, yang mereka selalu bersikap baik dan mengontrol diri mereka disebabkan ruhani mereka selalu berada di jalan yang lurus.
Adakalanya pula mereka siap menghadapi kehancuran dan bencana, karena mereka beribadah tanpa mendapatkan pengetahuan lengkap tentang Tuhan yang mereka sembah. Kebanyakan dari mereka beribadah tanpa diikuti suatu pemahaman, seperti yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw. di atas, bahwa seorang yang berilmu mempunyai keutamaan lebih dari orang-orang yang hanya ahli ibadah tanpa pemahaman. Sehingga di antara mereka menjadi tidak mempunyai kesamaan dalam kedudukan.
Di sini ada satu titik yang perlu diteliti kembali, bahwa manusia sempurna yang mewarisi ilmu para Nabi tidak terlepas dari pancaran yang datangnya dari cahaya Rasulullah Saw.. Sebab, beliau merupakan matahari yang memancarkan sinarnya ke seluruh alam semesta. Tidak seorang pun yang terlepas dari pancaran cahaya Rasulullah Saw.. Jika seseorang telah mendapatkan pancaran cahaya Rasulullah Saw., maka insya Allah dengan rahmat Allah ia akan terus-menerus mengikuti jalan petunjuk, dan sekaligus menjadi orang baik.
Beliau Saw. senantiasa bertata-krama dan berakhlak mulia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika seseorang telah mendapatkan sebagian dari cahaya petunjuk beliau Saw., maka ia akan mampu mengembangkannya kepada orang lain, dan mengajak mereka mengikuti jalan kebaikan secara berkesinambungan, sampai menjadi manusia sempurna. Semua itu disebabkan ia senantiasa melakukan apa yang telah diajarkan oleh Al-Qur‟an melalui lisan Rasul-Nya. Sebab, kalau tidak, maka Al-Qur‟an sendiri telah mengkritik sebagian orang yang tidak mau mengamalkan ajaran Al-Qur‟an. Seperti yang telah disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, “Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui,” (QS al-Baqarah [2]: 146).
Firman Allah di atas mengisyaratkan, bahwa akan selalu ada sebagian orang yang diberi tahu tentang ilmu agama secara lebih mendalam, akan tetapi mereka justru tidak mau mengamalkan ilmu yang didapatinya itu. Hingga sedikit pun mereka tidak mendapatkan cahaya dari ilmu yang ada pada sisi mereka.
Sesungguhnya seorang yang diberikan anugerah ilmu tidak berbeda dengan cahaya matahari yang senantiasa memancarkan sinarnya di siang hari. Sebaliknya, seorang yang diberi pemahaman tentang suatu ilmu, namun tidak mau mengamalkan apa yang diajarkan kepadanya, maka ia bagaikan sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Sebagaimana hal itu yang diisyaratkan melalui sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut, “Seorang berilmu yang ditanya tentang ilmunya, akan tetapi ia justru menyembunyikannya, maka pada Hari Kiamat kelak ia akan diikat dengan tali kendali yang dirangkai dari api neraka.”[3]
Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita, bahwa siapa saja yang mempunyai ilmu, akan tetapi ia tidak mau (enggan) mengajarkannya kepada orang lain, atau dengan kata lain ia tidak mau memberikan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, dan ia tidak mau menjadi tuntunan bagi orang lain, sehingga kebenaran yang ia miliki tidak bisa dimanfaatkan oleh orang lain, maka ia pantas mendapat siksaan yang sangat berat dari sisi Allah Swt.. Yaitu, ia diibaratkan sebagai seekor binatang yang diberi tali kendali dari api neraka.
Sesungguhnya manusia yang menyembunyikan kebenaran dari orang lain, maka ia bagaikan seorang yang tidak menghargai karunia ilmu yang telah dilimpahkan oleh Allah „Azza wa Jalla kepadanya. Sehingga ia bertindak laksana pihak yang sama sekali tidak berguna bagi pihak lain, akibat ia tidak mensyukuri karunia Allah berupa ilmu pengetahuan yang seharusnya ia sebarkan di antara sesamanya. Sehingga balasan yang pantas untuknya adalah mendapatkan siksa dari sisi Allah dengan sesuatu yang sangat pedih.
Memiliki anugerah ilmu dan tugas mengajarkannya kepada orang lain, atau dengan kata lain berdakwah, merupakan sesuatu yang identik laksana dua sisi mata uang. Ia ibarat sebuah logam mulia yang mempunyai dua tampilan serupa. Demikian pula mengamalkan ilmu yang dimiliki merupakan keharusan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan kalimat yang lebih urai dapat disampaikan di sini, bahwa seorang yang berilmu harus mengamalkan ilmunya, dan sekaligus juga mengajarkannya kepada orang lain.
Sebab, seorang yang mengamalkan ilmunya sama artinya dengan ia telah mensyukuri anugerah yang sudah diberikan oleh Tuhan-nya. Sebaliknya, jika seorang Muslim tidak bersedia mengamalkan ilmunya, meskipun ia banyak melakukan ibadah, maka ia laksana seorang yang jahil, buta, dan juga tuli. Apalagi jika ia diperintah untuk mengajak orang lain ke jalan keimanan, akan tetapi ia tidak menjalankannya dengan baik, maka ia telah mengkhianati ilmu yang dilimpahkan oleh Allah „Azza wa Jalla kepadanya. Orang-orang Muslim yang berilmu, dan ia tidak mau mengamalkan ilmunya, maka mereka semua akan menjadi obyek cemoohan bagi orang-orang non-muslim yang selama ini telah menindas umat Islam.
Ada seorang muslim bertanya kepada seorang berkebangsaan Inggris, “Mengapa bangsa Inggris tidak mau masuk Islam secara berbondong-bondong, padahal mereka adalah orang-orang yang berilmu (pandai), bahkan mereka dapat mengendalikan politik di berbagai negara jajahan yang mereka taklukkan?” Maka orang Inggris itu tidak menjawab pertanyaan si muslim, akan tetapi ia memegang tangan si muslim, lalu mengajaknya ke masjid terdekat di sekitarnya. Maka si muslim kemudian mengerti karena menyaksikan bahwa yang mengerjakan shalat di dalam masjid itu hanya sedikit.
Seolah-olah, orang Inggris itu ingin mengatakan, bahwa Islam adalah agama yang bagus, akan tetapi kaum muslimnya sendiri yang tidak mau melaksanakan ajaran agamanya dengan baik. Sedangkan menurut pikiran orang Inggris tersebut, meskipun mereka non-muslim, namun segala bentuk amalan yang baik mereka laksanakan dengan baik pula. Jadi, keimanan harus diikuti dengan pengamalan secara lahiriah, sehingga lahir dan batinnya tidak saling bertabrakan. Jika suatu masyarakat Islam mengerjakan secara baik ajaran Islam, maka qalbu, akal, dan kehidupan mereka telah menyatu dalam kesempurnaan. Sehingga perbuatan mereka sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang ada.
Jika suatu masyarakat tidak mengenal dengan baik agamanya, juga tidak mengenal Tuhannya, serta tidak memahami kitab sucinya, mana mungkin mereka akan mengajak orang lain ikut ke dalam agamanya. Sebab, orang lain akan memerhatikan praktik hidup umat beragama sebelum ia mengikuti ajakan yang diserukan. Jika seorang muslim hendak mengajak orang lain ke dalam agamanya, sedangkan ia sendiri sangat jauh dari aturan agama Islam, maka sudah tentu tidak akan mungkin orang lain akan tertarik untuk masuk ke dalam agama Islam.
Akan tetapi, jika seorang muslim senantiasa menghabiskan waktunya untuk berdakwah, disertai menunaikan seluruh ibadahnya dengan baik di waktu pagi dan siang, juga seluruh kegiatan ia gunakan untuk mengingat Allah serta mengajak orang lain kepada jalan petunjuk, maka tidak mustahil apabila orang lain akan cepat mengikuti ajakan si muslim itu ke dalam aturan agamanya.
Jika setiap muslim menjalankan perintah Allah Swt. dengan baik, maka diharapkan orang-orang di luar Islam akan berbondong-bondong masuk ke dalam pelukan agama Islam. Sebab sesungguhnya mereka telah mempelajari ajaran Islam dengan baik, dan mereka juga mengakui ajaran Islam adalah sistem hidup yang paling manusiawi dan paling sempurna. Namun, karena umat Islam sendiri tidak mau menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya dengan baik, maka tidak salah kalau orang-orang non-muslim segan untuk memeluk agama Islam. Bahkan, akhir-akhir ini mereka berusaha sekeraskerasnya untuk menjauhi umat Islam.
Sebagai kesimpulan, bahwa ajaran Islam merupakan aturan yang Allah „Azza wa Jalla tetapkan antara menyatukan ilmu dan pengamalan secara kongkrit. Di antara keduanya tersedia apa yang disebut sebagai keimanan. Jadi, Iman akan mendorong seseorang untuk mengamalkan ilmunya. Sebenarnya jika kita mau memetik pelajaran dari sejumlah kisah tentang amalan ibadah orang lain, maka hal itu sangat baik untuk diteladani. Mengingat, di dalamnya dapat diambil berbagai pelajaran hidup serta nasihat yang baik.
Meski demikian, manakala seseorang hanya mendengarkan kisah-kisah yang baik saja, tanpa bersedia ikut mengamalkannya, maka bukan itu tujuan agama Islam dibuat. Ajaran agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menghayati antara Islam, Iman, ilmu, dan sekaligus pengamalannya. Adapun sebaliknya, orang-orang yang suka berbicara tentang amal-amal Islam tanpa mengetahui keimanan dan pengamalan menurut aturan agama Islam yang sesungguhnya, maka ucapan mereka hanyalah bernilai sia-sia belaka.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 10. Juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan yang sama, al-‘Ilmu, hadis nomor 19
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 19.
[3] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 1. Juga oleh Imam Abu Dawud, juga pada pembahasan yang sama, mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah di dalam Muqaddimah kitab miliknya, halaman 24. Dan pula dirujuk dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 1, halaman 163.
- Dibuat oleh