Ikhlas Berdakwah Tanpa Pamrih
Sudah seharusnya seorang da'i tidak berharap mendapat imbalan atau pujian dari siapa pun pada saat menjalankan tugas dakwahnya. Karena, ia bertugas menyampaikan sesuatu yang benar, sehingga ia harus melakukannya dengan ikhlas dan jujur. Jika seorang da'i tidak mempunyai qalbu yang ikhlas dan jujur, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna sedikit pun bagi para pendengarnya. Setiap da'i hendaknya merasa khawatir kalau dakwahnya tidak diiringi sikap ikhlas, seperti pada saat ia sempat berharap imbalan atau pujian dari objek dakwahnya. Ketika seorang da'i telah berharap mendapat imbalan dari tugas dakwahnya, maka keikhlasannya akan hilang. Tentang masalah ini, Al-Qur'an telah menyebutkan sebagai berikut, “Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepada kalian atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam,” (QS al-Syu'arâ' [26]: 109).
Firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa para Rasul tidak berharap mendapatkan upah atau imbalan apa pun dari dakwah yang beliau-beliau sampaikan ke umat. Sikap mereka mulai dari Nabi Allah Adam as. sampai Rasulullah Muhammad Saw. adalah sama; tidak berharap apa pun dari seruan (dakwah) yang disampaikan kepada kaumnya.
Ketika sebagian pengikut Rasul Allah „Isa Almasih as. menghadapi tantangan pada saat harus menyampikan dakwah, maka ada seorang yang berkata, seperti telah disebutkan di dalam firman Allah „Azza wa Jalla berikut ini, “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepada kalian; dan mereka adalah orangorang yang mendapat petunjuk,” (QS Yâsîn [36]: 21).
Kisah di atas sengaja disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an, agar dapat dijadikan pedoman hidup bagi para da'i. Hendaknya para da'i mempunyai dua karakter istimewa sebagai berikut. Pertama, hendaknya seorang d'ai bersikap sebagai orang yang diberi petunjuk. Kedua, hendaknya seorang d'ai tidak berharap mendapat upah atau imbalan apa pun dari orang-orang yang mendengar dakwahnya.
Jadi, tidak dapat dinamakan seorang da'i, jika ia tidak menegakkan shalat, tidak menunaikan ibadah yang disyarai'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara sempurna. Bagaimana mungkin seorang yang tidak menegakkan shalat dan ibadah lain akan menjadi seorang da'i yang mengajak manusia ke jalan Allah. Tentunya ia hanya seorang yang ingin mengisi perutnya dengan harta riba', uang suap dan uang yang tidak halal lainnya. Atau, bagaimana mungkin seorang yang tenggelam dalam kehidupan yang serba mewah dan hura-hura akan mengajak ke jalan Allah? Meskipun ia selalu berdakwah, akan tetapi Allah „Azza wa Jalla tidak akan meridhai perbuatannya.
Sebenarnya para da'i yang tidak menempuh jejak Rasulullah Saw. serta para sahabat beliau, pasti apa yang mereka sampaikan tidak lain hanyalah kebohongan. Sehingga tidak seorang pun yang akan mengikuti dakwahnya. Seorang da'i laksana sebuah batu tulis yang senantiasa mengajak orang lain ke jalan yang benar. Tentunya, ia akan berperilaku dan bertutur kata yang menarik simpatik orang lain, sehingga ia dapat dijadikan contoh oleh mereka.
Al-Qur'an adalah sumber petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Lalu bagaimana mungkin seseorang dapat menerima petunjuk dari Al-Qur'an jika perilakunya justru bertentangan dengan Al-Qur'an? Sebab, petunjuk dari Al-Qur'an adalah petunjuk ke jalan yang lurus. Jadi, siapa pun yang perjalanan hidupnya tidak seiring dengan Al-Qur'an, maka ia akan semakin tersesat. Kalau ia sudah tersesat, apakah mungkin ia dapat mengajak orang lain ke jalan Allah Swt.?
Para da'i adalah orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak para Nabi serta Rasul. Khususnya, pada masa belakangan ini seorang da'i harus mengisi sanubari, akal, dan pandangan hidupnya dengan semua tuntunan Al-Qur'an. Kalau tidak, maka orang lain akan menuduh mereka sebagai orang-orang yang suka berbohong. Sebab, mereka menjadikan dakwah dan agamanya hanya sebagai sarana untuk mencari uang semata. Oleh karena itu, mereka tidak perlu dipercaya, baik perilaku maupun tutur kata yang mereka sampaikan.[1]
Sebenarnya jika para da'i hanya menjadikan dakwah mereka sebagai sarana untuk mencari kekayaan, maka dakwah yang dilakukan tidak akan menyentuh lubuk sanubari para pendengar. Sebab, mereka mengetahui bahwa yang disebarkan melalui dakwah dimaksud hanyalah suatu kebohongan belaka.
Namun demikian, masih ada juga sejumlah da'i yang berdakwah dengan ikhlas. Mereka berjuang mati-matian untuk menciptakan kebahagiaan hidup orang lain. Merekalah orang-orang yang berjuang dengan ikhlas karena Allah semata. Mayoritas mereka hidup sederhana, bahkan tidak mempunyai harta yang cukup untuk membeli kain kafan sendiri. Menurut hemat Saya, para da'i yang seperti itulah yang diharapkan oleh masyarakat Islam dewasa ini, karena mereka adalah pewaris para Nabi serta Rasul.
Dewasa ini banyak orang yang terpukau oleh dakwah yang disampaikan oleh sebagian da'i. Akan tetapi, setelah masyarakat mengetahui gaya hidup para da'i tersebut yang jauh dari tuntunan Islam, maka mereka merasa tertipu oleh prasangka baik mereka kepada para da'i yang gaya hidupnya serba mewah itu. Kini, masyarakat Islam menanti benar-benar datangnya para da'i yang gaya hidup mereka sangat Islami, di samping berani berjuang serta berkorban untuk mencapai keridhaan Allah Swt. dengan mengamalkan ilmu mereka sesuai petunjuk Allah maupun Rasul-Nya.
Maka, untuk lebih jelasnya di seputar permasalahan ini, perlu Saya sampaikan ciriciri da'i yang hidupnya dinaungi perjuangan menyampaikan tugas suci kepada umat manusia dengan sikap yang ikhlas. Perhatikan kehidupan mereka sehari-hari; apakah mereka bersikap tawadhu' dan tidak berharap harta ataupun pujian dari orang lain? Juga apakah tutur kata mereka tidak bertentangan dengan perbuatan sehari-hari yang mereka lakukan.
Karena itu, carilah para da'i yang berperilaku sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.. Mereka tidak mengumbar janji dan berkata yang muluk-muluk, sehingga para pendengar tidak tertipu oleh tutur kata mereka yang manis. Padahal perilaku mereka justru bertentangan dengan tutur kata mereka sendiri. Para da'i seperti itu selalu bertentangan dengan ruhani kita, dan akan jauh dari kita.
Siapa saja yang menjadikan para da'i yang kehidupan pribadi mereka bergelimang kemewahan sebagai panutan, maka ia tidak akan dapat mensyukuri segala karunia Allah Swt. yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, al-Laits Ibnu Sa'ad, Imam aL-Tsauri, al-Fudhail bin „Iyadh, Ibrahim bin Ad-ham dan sekelompok tokoh agama Islam yang lain --semoga Allah Swt. melimpahkan kasih sayang kepada mereka semua-- sangat berhati-hati dalam menjalani kehidup ini. Meraka menjaga agar diri mereka tidak terperosok di bawah kehinaan hidup yang bergantung kepada hasil pemberian orang lain. Karenanya, setiap tutur-kata dan perilaku mereka sanggup menjadi suri teladan bagi umat Islam sepanjang masa.
Alangkah indahnya masa ketika mereka masih hidup di tengah masyarakat Islam, sehingga masa itu menjadi kebanggaan umat Islam di masa-masa setelahnya. Misalnya, dikisahkan bahwa ketika Imam Sufyan al-Tsauri terlihat sangat sedih, maka ia ditanya oleh seorang muridnya, “Mengapa Anda terlihat begitu sedih?” Jawab Sufyan, “Bagaimana kami tidak merasa sedih, jika saat ini setiap guru diberi kedudukan yang tinggi oleh para penguasa?”[2]
Diriwayatkan pula, bahwa Imam Sufyan al-Tsauri Rahimahullâh pernah menulis surat kepada Khalifah Harun al-Rasyid, yang ketika itu baru diangkat sebagai Khalifah „Abbasiyah, dan ia yang lebih dahulu menulis surat kepada Sufyan al-Tsauri sebagai berikut, “Wahai Abu „Abdullah, tidak seorang pun dari para sahabat dekatku dan juga para sahabat dekatmu yang tidak datang kepadaku untuk menyampaikan ucapkan selamat kepadaku atas terpilihnya aku sebagai Khalifah „Abbasiyah, kecuali engkau. Padahal aku telah memberi uang sangat banyak sebagai hadiah bagi mereka. Aku masih menunggu kedatanganmu di istanaku, akan tetapi hingga kini engkau belum datang juga kepadaku.”
Ketika Sufyan al-Tsauri menerima surat dari Harun al-Rasyid, maka surat itu dibaca, kemudian ia menulis jawabannya di balik surat Khalifah Harun al-Rasyid sebagai berikut, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, surat ini dari seorang hamba yang banyak melakukan dosa, Sufyan bin Sa'id bin al-Mundzir al- Tsauri. Surat ini untuk seorang hamba yang terlena oleh impiannya, Harun al-Rasyid, seorang yang telah dicabut dari lubuk sanubarinya untuk bisa merasakan manisnya keimanan. Ketahuilah, bahwa suratmu menjadikan aku sebagai saksi kepadamu kalau engkau telah mengambil harta dari Baitul Mal milik kaum muslim, kemudian engkau belanjakan di jalan yang tidak baik (dilarang Allah). Oleh karena itu, aku anjurkan kepadamu agar bersiap-siap untuk dimintai pertanggungan jawab oleh Allah di Hari Kiamat kelak.”
Ketika surat balasan dari Sufyan al-Tsauri itu tiba dan segera dibaca oleh Khalifah Harun al-Rasyid, maka Khalifah senantiasa membaca surat tersebut setiap selesai dari pelaksanaan shalat fardhu dengan selalu bercucuran air mata, sampai akhir usia menjemputnya.[3]
Pada masa seperti sekarang ini, adakah seseorang (rakyat) yang berani menulis surat kepada seorang penguasa negeri dengan nada yang tegas untuk memberi peringatan kepadanya. Tentu saja seorang yang sekelas Imam Sufyan al-Tsauri berani menegur dan menasihati seorang penguasa yang potensial berlaku aniaya. Sebab, ia selalu menegakkan semua kewajiban Islamnya, baik yang fardhu maupun yang sunah. Sehingga ia berani menegaskan yang benar maupun yang salah kepada orang lain yang dianggapnya masih sahabat dekat bagi dirinya, agar ia dapat menyelamatkan sahabat dekatnya itu dari siksa Allah Swt. dengan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.
Selanjutnya, dengarkanlah nasihatku yang pertama dan terakhir, terutama bagi orang-orang di masa yang akan datang, agar mereka terlepas dari siksa Allah „Azza wa Jalla , “Hendaknya kalian menjadi orang-orang yang bersikap mulia, agar dakwah yang kalian sampaikan dapat diterima dengan baik oleh para pendengarnya. Tampilkan diri kalian sebagai orang-orang ahli ibadah, dan tidak butuh kepada kesenangan duniawi. Sebab, hanya dengan sikap yang baik dan jujur, maka nasihat dan pendapat yang kalian sampaikan akan diterima orang lain dengan baik. Kalian juga tidak berharap imbalan apa pun, kecuali keridhaan Allah Swt. dan pahala dari sisi-Nya di akhirat kelak. Sebaliknya, jika kalian berharap imbalan dari orang lain, maka sudah tentu nasihat baik dan dakwah yang kalian sampaikan tidak akan memberi pengaruh sedikit pun di qalbu para pendengarnya.”
Perlu untuk segera disadari, bahwa segala kedudukan dan kesenangan yang ada di alam dunia ini akan segera berakhir. Oleh karena itu, sebenarnya kesemuanya tidak perlu dibanggakan oleh siapa pun. Akan tetapi, justru belakangan ini kenikmatan duniawi sangat dibanggakan, karena dibutuhkan oleh para abdi negara dan pemerintahan. Dewasa ini jika seorang pegawai negeri sipil dan keluarganya hidup hanya dari mengandalkan gajinya, maka ia termasuk seorang yang bersikap wara' , dan bisa dipastikan tidak akan meninggalkan warisan apa pun bagi anak cucu mereka.
Sebab, secara umum harta negara banyak dinikmati oleh mereka yang bersikap lacur cenderung bercampur dari sumber-sumber yang diharamkan. Ucapan ini termasuk pernyataan yang khusus berlaku bagi orang-orang yang berada di masa kita sekarang ini. Semoga kondisi ini segera berubah secara total, sehingga setiap orang mendapatkan hasil atau sumber ekonomi bagi kebutuhan hidup mereka dari sumber yang dihalalkan oleh Allah Swt..
Saya bermaksud menunaikan dakwah tanpa mengharap kedudukan dan kekayaan apa pun, bahkan tidak pula mengharap popularitas; kecuali kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Saya hanya ingin menyampaikan kebenaran kepada orang lain, meskipun konsekuensinya tidak mendapat kedudukan atau jabatan. Sebaiknya kita lebih memilih pahala dari sisi Allah Yang Maha Memberi, karena tujuan utama dari kehidupan kita adalah untuk membimbing orang lian ke jalan yang benar, agar mencapai kebahagiaan di dunia ini maupun di akhirat kelak. Sebaliknya, jika ada seorang da'i yang menggunakan dakwahnya untuk mencari ketenaran, kedudukan dan harta, maka ia tidak berbeda dengan orang jahil yang mau menukar berlian dengan tidak lebih dari sekeping kaca.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa pada masa Nabi Musa as., Allah Yang Mahakuasa mengubah wajah para da'i menjadi seekor babi atau kera, jika ada di antara mereka yang menggadaikan tujuan mulia dakwah dengan keuntungan duniawi semata. Perlu untuk diperhatikan di sini, bahwa umat Islam tidak ada yang diubah wajah mereka oleh Allah Swt. menjadi binatang yang tidak terhormat, karena Allah masih sayang kepada Rasulullah Saw.. Akan tetapi, meskipun demikian, masih banyak orang yang suka menukar agama dengan kesenangan duniawi. Sehingga kepribadian dan perilaku mereka menjadi rusak, bahkan lebih buruk dari binatang buas yang sedang lapar.
Semoga Allah Yang Maha Penyayang menyelamatkan kita dan para da'i umat ini dari akibat yang tidak baik, karena hanya Dia yang dapat mengabulkan segala permintaan.
[1] Termuat dalam kitab al-Maktûbât, karya Imam Badi’ az-Zaman Sa’id an-Nursi, halaman 16.
[2] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, karya Imam al-Ghazali, Jilid 1, halaman 84.
[3] Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, karya Imam al-Ghazali, Jilid 2, halaman 507 dan 509.
- Dibuat oleh