Gerakan Para Relawan Pendidikan

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama." Dalam Islam, makna kebaikan mencakup berbagai hal, mulai dari tindakan sederhana seperti menyingkirkan batu di jalan agar tidak membahayakan orang lain hingga upaya besar seperti membangun institusi pendidikan atau mendirikan usaha yang bermanfaat bagi perekonomian. Mereka yang menerangi akal dan hati manusia dengan ilmu, yang menciptakan lapangan pekerjaan, serta yang membantu kaum fakir dengan zakat dan sedekah, merekalah orang-orang terbaik di antara umat manusia.[1]

Seperti halnya yang dilakukan oleh setiap orang mukmin, sepanjang hidup saya berusaha mencari cara untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. Melalui usaha tersebut, saya berusaha untuk meraih rida Allah. Saya selalu menjalani hidup dengan semangat dan antusiasme untuk memberi manfaat bagi sesama, turut berempati dengan penderitaan mereka, serta mencari solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi. Saya berusaha menemukan jalan keluar bagi penyakit yang menghambat kemajuan bangsa kita, seperti kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan. Namun, saya tidak memiliki kekayaan untuk membantu kaum fakir, tidak pula memiliki kemampuan finansial untuk membangun sekolah untuk kemudian mengamanahkannya kepada para relawan di dunia pendidikan. Karena hal itu, setiap kali ada kesempatan, sebisa mungkin saya menyampaikan tentang pentingnya pendidikan, apa saja peran yang bisa diisi setiap individu dalam pembangunan ekonomi, serta urgensi hidup dalam persahabatan, toleransi, dan dialog. Baik melalui tulisan maupun lisan, saya selalu mengajak semua orang untuk berkontribusi dalam upaya-upaya membangun pendidikan.

Dorongan, ajakan, dan motivasi saya akhirnya mendapat sambutan hangat di hati orang-orang yang penuh dedikasi. Misalnya, Haji Kemal dari Aydın adalah seorang yang memiliki kemampuan finansial yang baik. Ia memiliki kebun zaitun yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tujuh generasi keturunannya serta sebuah tambang berlian. Setelah beberapa kali mendengar paparan saya tentang pentingnya pendidikan, ia mengambil keputusan besar: ia menjual tokonya, bahkan rumahnya, lalu mengabdikan dirinya untuk memberikan dan mengumpulkan orang-orang yang mampu memberikan beasiswa kepada para pelajar dan membangun sekolah. Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan benar atau tidak, tetapi suatu hari saya berkata kepadanya, "Haji Kemal, orang-orang seperti kita seharusnya tidak memiliki rumah. Mari jalani hidup ini tanpa tempat tinggal meski hanya sepetak sekalipun. Biarlah keadaan kita menjadi bukti bahwa semua yang kita lakukan ini bukan untuk keuntungan duniawi, melainkan demi mencari rida Allah semata." Dan memang, sepanjang hidupnya, orang yang dermawan dan penuh pengorbanan ini tinggal di rumah kontrakan atau di kamar sederhana di asrama suatu sekolah. Ia tidak meninggalkan harta duniawi apa pun sebagai warisan, kecuali jejak kebaikan yang tak ternilai harganya.

Kemudian tibalah suatu masa ketika kisah orang-orang seperti Haji Kemal, yaitu kisah-kisah mereka yang mengabdikan diri untuk kepentingan umat, menjadi teladan yang diterima oleh banyak orang. Gerakan besar untuk memajukan pendidikan pun dimulai, bersamaan dengan upaya untuk membangun sikap toleran dan hidup berdampingan dalam persahabatan. Sebagai sebuah bangsa, kita semua, dengan penuh harapan dan semangat, mulai berlari tanpa henti menuju cita-cita yang selama ini sulit kita wujudkan, yaitu mencintai cinta, membenci kebencian, dan menolak permusuhan dalam hati kita. Saat itu, layar televisi dan halaman surat kabar dipenuhi dengan pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana orang-orang yang selama bertahun-tahun saling memusuhi kini mengulurkan tangan dalam persahabatan. Bangsa ini, sekali lagi, mengulurkan ranting zaitun kepada sesamanya.[2]

Andai saja kita bisa terus menjaga proses ini dengan luasnya harapan, impian, dan ekspektasi kita! Namun, sayangnya, ada pihak-pihak asing yang tidak senang melihat pemandangan penuh persahabatan ini berkembang di bumi Türkiye. Dengan bantuan para pion mereka di dalam negeri, mereka mulai merusak kepercayaan antarindividu dalam masyarakat, menebarkan benih prasangka dan kecurigaan di antara berbagai lapisan bangsa. Setelah itu, mereka melancarkan fitnah dan propaganda yang tak terbayangkan terhadap para relawan pendidikan dan toleransi. Bahkan tindakan para relawan yang paling tulus pun dipelintir, dipaksa dikaitkan dengan niat dan agenda yang sama sekali tidak ada hubungannya. Segala kebaikan seakan dibakar habis. Mereka membangkitkan kecurigaan terhadap upaya-upaya yang paling positif, mencari motif tersembunyi di balik setiap ajakan dialog, dan memutarbalikkan kata-kata yang paling bermanfaat. Pernyataan dan ucapan dipotong-potong, dipelintir, dan dimanipulasi agar seolah-olah memiliki makna lain. Dengan cara-cara ini, mereka menghadirkan contoh pengrusakan yang paling memalukan.

Upaya-upaya licik ini, meskipun tidak banyak berpengaruh pada mayoritas rakyat, tetapi ia sudah cukup untuk menghasut kelompok marjinal yang sejak lama hidup dalam kekerasan, kemarahan, kebencian, dan permusuhan. Mereka bangkit dan seolah-olah mendeklarasikan perang terhadap nilai-nilai seperti toleransi, dialog, kasih sayang, menerima setiap orang apa adanya, serta dunia yang damai tanpa pertikaian. Mereka mengguncang harapan yang bersemayam di hati orang-orang, meruntuhkan rasa percaya dan keyakinan antarindividu, serta menghancurkan prinsip-prinsip yang selama ini menghubungkan berbagai lapisan masyarakat. Sebagai contoh, mereka terus-menerus melontarkan pertanyaan bernada mencurigakan seperti "Dari mana sumber pendanaan program-program pendidikan ini berasal?" untuk menanamkan keraguan dalam benak masyarakat. Padahal, semua orang tahu bahwa gerakan ini lahir dari jiwa pengorbanan bangsa, yaitu pancaran semangat yang mirip dengan gairah perjuangan dalam Perang Kemerdekaan, hanya saja dalam kemasan dan bentuk yang berbeda. Sumbernya sebenarnya adalah ketulusan hati rakyat sendiri. Di balik sekolah-sekolah ini, ada dukungan dari para dermawan di desa-desa, kota kecil, kabupaten, hingga seluruh penjuru Türkiye. Ada keringat para guru muda lulusan universitas ternama yang bekerja dengan penuh dedikasi, menerima gaji tidak seberapa yang besarannya hanya layak disebut sebagai beasiswa. Namun, mereka tetap mengabdi dengan semangat yang luar biasa.

Sebenarnya, mereka yang terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan itu juga tahu bahwa para guru di sekolah-sekolah luar negeri bisa bertahan hidup selama enam bulan hanya dengan bantuan kiriman kentang dari pemerintah. Mungkin mereka juga tahu bahwa juru masak yang memasak kentang itu harus membawa makanannya sendiri dari rumah! Mereka pasti pernah mendengar kisah para guru yang, karena keterbatasan keuangan, harus berbagi satu rumah dengan dua atau tiga keluarga lain. Mereka juga tahu kisah para pemuda tangguh dari Anatolia yang setelah menikah, bahkan belum sempat memasuki malam pertama mereka, karena harus segera kembali ke sekolah tempat mereka mengabdi. Kisah-kisah mereka ini layak menjadi legenda.

Terlebih lagi, hingga hari ini, lembaga intelijen negara tidak pernah menemukan satu pun bukti atau contoh konkret yang mendukung tuduhan bahwa ratusan lembaga pendidikan ini menerima dana dari sumber luar. Itu karena memang tidak ada sumber lain selain sumbangan halal dari masyarakat. Penggerak utama dari upaya ini bukanlah dana tersembunyi, melainkan pengorbanan, keringat, air mata, dan keikhlasan para pedagang kecil dari Anatolia yang turut menyumbang dengan niat baik mereka. 

Jika kita melihat berbagai penelitian ilmiah yang dilakukan di berbagai belahan dunia mengenai gerakan ini, para ilmuwan sosial dan politik hampir semuanya sepakat bahwa "Gerakan Relawan" ini adalah gerakan masyarakat sipil yang tidak bergantung pada kekuatan luar mana pun.

Memang, mereka yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan institusi lokal atau negara asing mungkin kesulitan memahami gerakan yang hanya bersandar pada dukungan rakyat dan pertolongan Allah. Orang-orang yang tidak terbiasa memberi tanpa menerima sesuatu sebagai balasan mungkin tidak bisa memahami semangat pengorbanan yang mendasari pelayanan kepada masyarakat, terutama untuk bangsanya sendiri dan seluruh umat manusia. Namun, kenyataannya jelas bahwa posisi saya hanyalah seorang penyemangat dalam upaya ini. Semua orang sebenarnya tahu bahwa gerakan ini berasal dari inisiatif rakyat. Mereka juga tahu bahwa "air yang menggerakkan penggilingan" ini berasal dari hati yang tulus dan suci milik masyarakat Anatolia. Sayangnya, mereka yang tidak bisa mengendalikan sumber mata air ini sesuai keinginan mereka, kini mencoba mengeringkannya dengan rasa iri, dengki, dan kebencian.

Aku Heran Sekaligus Terluka!

Saat ini, aku berusaha mengalihkan pikiranku setiap kali teringat bagaimana begitu banyak usaha dan kebaikan yang telah dilakukan justru dihancurkan; bagaimana orang-orang tulus yang dengan ikhlas mengabdi kepada bangsa dan negara diperlakukan seolah mereka adalah kaum buangan; bagaimana berbagai pencapaian positif malah dirusak. Aku mencoba melupakan kenyataan tersebut dan berharap hal itu bisa menenangkan gejolak dalam batinku. Namun, meskipun aku berusaha menjauh dari pikiran-pikiran yang menyesakkan dada, menaikkan tekanan darah, dan memperparah penyakit yang menggerogoti tubuhku, tetap saja semua itu menembus pertahanan hatiku layaknya lesatan sebuah anak panah beracun. Aku mengerang, tersiksa, dan entah sudah berapa kali dalam sehari aku mengangkat tangan ke langit, berdoa, Rabbana, farajan wa mahrajan, Duhai Tuhanku, berilah jalan keluar…”

Sejak dulu, segala doa dan kegelisahanku hanya tertuju pada satu hal, yaitu  agar umat manusia menemukan Allah, mengenal-Nya, dan beriman kepada-Nya. Setiap hari, aku berdoa dengan penuh harap, merintih, “Ya Allah, aku berserah kepada-Mu… Kumohon, ya Allah, izinkanlah supaya umat manusia mengenal dan beriman kepada-Mu!” Jika diperlukan, aku rela mati dan hidup kembali berkali-kali demi tujuan ini. Namun, mereka yang tak memahami nilai iman, yang tak pernah merasakan kelezatan spiritualnya, yang tak merasakan kenikmatan surga dan penderitaan neraka dalam jiwanya, yang tak pernah sekalipun peduli terhadap derita manusia, justru berusaha menafsirkan kesedihan, perjuangan, dan pengorbanan kami dengan cara yang keliru. Mereka melihat semuanya hanya dari sudut pandang politik yang berputar di sekitar negara, pemerintahan, dan kekuasaan. Mereka yang hidup demi kepentingan pribadi, yang mengaitkan seluruh hidupnya pada keuntungan duniawi, tak bisa memahami kesedihan dan perjuangan yang dilakukan demi iman dan Al-Qur’an.

Kami tak pernah sekalipun terlibat dalam aksi teror, anarki, korupsi, atau tindakan ilegal lainnya. Tapi tetap saja, aku dituduh ingin menguasai Turki. Padahal, aku tak menginginkan apa pun dari dunia ini. Bahkan jika ditawari tahta kekuasaan, aku tak akan menoleh sedikit pun. Dalam menghadapi semua tuduhan ini, aku hanya bisa berbisik, “Ya Rabbi, apakah dalam beribadah kepada-Mu, dalam mencari ridha-Mu, aku telah melakukan kesalahan? Apakah ada kekurangan dalam keikhlasanku, sehingga aku kini dituduh mengejar tujuan-tujuan yang tak pernah terlintas dalam pikiranku atau bahkan dalam mimpi sekalipun?”

Namun, di balik tuduhan-tuduhan ini, di balik orang-orang yang dengan sengaja memprovokasi pihak berwenang melawan kami, ada sosok-sosok yang belajar dari setan jin dan bertindak sebagai setan berbentuk manusia. Mereka bukan hanya memusuhi Islam, tetapi juga tidak menginginkan Turki yang bersih dari korupsi, sebagai negeri yang telah menyelesaikan berbagai persoalannya, dan yang menempati posisi sejatinya dalam keseimbangan dunia. Justru, mereka merasa lebih diuntungkan jika Turki tetap berada dalam kondisi seperti sekarang, karena itu sejalan dengan kepentingan mereka.

Aku bisa sedikit memahami mereka. Aku berkata pada diriku sendiri, “Mereka hanya bertindak sesuai dengan tabiatnya yaitu dengan menunjukkan karakter asli mereka.” Namun, yang membuatku sulit memahami adalah bahwa masyarakat umum begitu mudah terpancing oleh kelompok-kelompok ini. Masyarakat lugu ini tertipu oleh segelintir kelompok marjinal dan malah ikut serta dalam upaya mengaburkan masa depan cerah Turki. Aku heran melihat mereka yang, meskipun hanya ada satu dari sejuta kemungkinan untuk menemukan kesalahan, tetap bersikeras mencurigai niat baik gerakan ini, sementara mereka menutup mata terhadap ribuan bukti nyata dari kebaikan yang telah dilakukan. Aku juga terluka oleh mereka yang bahkan tak pernah bertanya pada dirinya sendiri, “Siapa yang terganggu ketika İstiklal Marşı kita berkumandang di negeri nun jauh berjarak ribuan kilometer dari sini? Siapa yang merasa gusar ketika anak-anak berkulit hitam pun berbicara dalam bahasa Turki? Siapa yang tak suka melihat budaya dan nilai-nilai kita dikenal dan diwakili dengan baik di berbagai belahan dunia?” Aku kecewa terhadap orang-orang yang tidak pernah mencoba mencari jawabannya di dalam nurani mereka sendiri. Aku yakin bahwa sikap acuh tak acuh atau bahkan terkadang sikap menentang dari orang-orang ini, yang kelak akan dipertanyakan oleh sejarawan sosial di masa depan, bukan sekadar bentuk kebutaan, tetapi lebih kepada sikap tidak tahu berterima kasih.

Pada hari-hari di mana aku hidup berdampingan dengan penyakit dan memikul kehidupan seolah-olah ia adalah beban berat di pundakku, satu-satunya harapanku adalah agar mereka yang selalu mencari niat buruk di balik segala kebaikan setidaknya mau melihat satu saja dari ribuan contoh nyata kebaikan ini dan setidaknya mencoba berpikir secara positif untuk beberapa menit saja. Aku tak memiliki apa pun di dunia ini. Seperti yang pernah kujanjikan pada Hacı Kemal, aku ingin pergi dari dunia ini dalam keadaan tidak memiliki rumah pribadi. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, “Aku bahkan tak punya sebatang ranting zaitun untuk kumiliki. Namun, andai aku memilikinya, aku akan mengulurkannya kepada mereka sebagai simbol perdamaian.”

Seseorang yang selalu merasakan kematian di relung jiwanya dan tidak memiliki kepentingan duniawi apa pun, tidak akan takut atau gentar terhadap apa pun. Seperti yang pernah aku ungkapkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya, secara pribadi, aku tidak pernah bisa menerima kehinaan, penghinaan, atau kata-kata kasar. Sejak kecil, aku tidak pernah tahan terhadap celaan sekecil apa pun, apalagi terhadap kebohongan, fitnah, tuduhan, dan rekayasa yang kini aku hadapi. Aku tetap tidak bisa menerimanya. Tanpa ragu, aku bisa berdiri, menghadapi pengadilan, dan menyampaikan kepada dunia bagaimana aku telah dihina, serta mengungkapkan semua itu di hadapan orang-orang yang melakukannya. Namun, menurutku, saat ini bukan itu yang harus dilakukan. Di tengah kondisi di mana semua orang seakan terjebak dalam pertikaian, sementara negara dan dunia lebih membutuhkan perdamaian, ketenangan, harmoni, serta persatuan antara rakyat dan pemerintah, aku merasa bahwa apa pun yang menimpa diri kita secara pribadi, kita harus mampu menahannya. Kita telah menapaki jalan cinta dan pengorbanan, dan dalam perjalanan ini, kita telah berikrar bahwa harga diri dan kehormatan pribadi bukanlah prioritas utama. Yang lebih penting adalah memikirkan masa kini dan masa depan bangsa kita.

 

Kita Telah Berjanji untuk Berjuang demi Cinta!"

Kesedihan, kekecewaan, dan keluhanku sama sekali bukan untuk diriku sendiri. Aku berduka untuk mereka yang seharusnya menerima penghargaan atas pengabdian mereka, tetapi malah diperlakukan seperti penjahat, seperti Hacı Kemal dan para pendidik yang telah mendedikasikan hidup mereka sebagai duta budaya bangsa di negeri orang. Aku merasa pedih karena mereka, yang hanya aku dorong dan dukung, kini disisihkan bersama segala kebaikan yang telah mereka lakukan.

Namun, bagaimanapun juga, kami akan tetap berpegang teguh pada prinsip kami seperti waktu-waktu sebelumnya. Kami tidak akan bertikai demi dunia yang hanya berlangsung sekejap ini. Kami tidak akan menyakiti orang lain, tidak akan mengucapkan kata-kata buruk, dan tidak akan melukai hati siapa pun. Sebaliknya, kami akan terus menyerukan cinta. Dalam hubungan kami dengan bangsa ini, kami akan selalu memegang teguh kata-kata seorang tokoh besar: "Segala penderitaan, siksaan, dan cobaan yang kualami selama bertahun-tahun, semuanya aku ikhlaskan! Dalam delapan puluh tahun lebih hidupku, aku tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi. Hidupku dihabiskan di medan perang, di penjara sebagai tawanan, dan di bui di negeri sendiri. Berbulan-bulan aku dijauhkan dari orang-orang, diperlakukan layaknya penjahat dalam pengadilan militer. Namun, kepada mereka yang menzalimi, yang menyeretku dari satu kota ke kota lain, yang berusaha menghukumku dengan tuduhan tak berdasar, dan yang menyiapkan sel untukku di penjara, aku telah memaafkan mereka semua."[3]

Sebagai seorang mukmin, aku pun telah berjanji akan memegang teguh perasaan ini. Aku telah berjanji untuk tidak membenci siapa pun, untuk tidak menyimpan dendam, untuk menyambut kematian dengan senyuman, dan untuk menerima segala cobaan dengan ketabahan. Aku tidak bisa mencampuri hukum Allah, tetapi untuk segala hak yang berkaitan denganku, aku berjanji tidak akan menuntut siapa pun.

Meskipun pemikiran-pemikiran sempit mencoba menghambat jalan yang kami tempuh, selama masih ada hijaunya harapan yang berkembang di sekitar kita, selama masih ada teman seperjalanan yang membakar semangat, selama masih ada hati yang terbuka untuk dialog, selama masih ada mereka yang menjabat tangan, memeluk dengan kehangatan, dan menyebarkan senyuman, selama masih ada jiwa-jiwa yang sadar akan dosanya, yang menyesali kesalahannya, dan yang ingin membangun masa depan dengan akal dan kebijaksanaan—maka kami akan terus menguatkan bagian-bagian jiwa yang terguncang dan berkata, "Mari kita mulai kembali!". Ya, Kami akan terus mencintai semua manusia.

 

 

 

[1]  Diterjemahkan artikel: https://herkul.org/kirik-testi/gonulluler-hareketi-ve-sevgi-mahrumlari/ 

 

[2] Dalam kisah Nabi Nuh (AS), burung merpati membawa ranting zaitun ke bahtera setelah banjir besar, yang menandakan akhir azab dan awal kehidupan baru yang penuh kedamaian (Kejadian 8:11 dalam Alkitab). Dalam Islam, pohon zaitun disebut dalam Al-Qur’an sebagai pohon yang diberkahi (syajarah mubarokah, QS. An-Nur: 35). Mengulurkan ranting zaitun berarti menawarkan perdamaian dengan tulus, menghapus permusuhan, dan membangun hubungan baru yang lebih baik, penerj. 

 

 

 

[3]  Badiuzzaman Said Nursi, Risale-i Nur Külliyatı, Emirdağ Lâhikası, Konuşan Yalnız Hakikattir, hlm. 317

 

 

 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2025 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.