Hiasi Qalbu dengan Sikap Rendah Diri
Seorang da'i harus senaantiasa menjaga dan mengendalikan dirinya. Ia selalu berusaha untuk rendah diri, meskipun kedudukannya telah tinggi. Tidak diingkari lagi rendah diri merupakan pondasi utama dalam Islam. Kalau hubungan sesama hanya di dasari kepentingan pribadi alias mengutamakan “Aku dan aku” saja pasti yang ada adalah kesombongan dan kelalaian saja.
Perlu diketahui bahwa di antara kelemahan manusia adalah adanya sifat individualisme. Jika sifat tersebut masih merajalela di hati manusia, maka ia tidak akan menjadi seorang da'i yang mukhlis sepenuhnya karena Allah, karena di hatinya masih tersimpan rasa sombong dan bangga diri.
Hendaknya setiap da'i harus menjaga kebersihan dan keikhlasan hatinya, jangan sampai ia tertipu oleh keberhasilannya yang bersifat sementara, meskipun ia dapat memesona para pendengarnya dengan dakwah dan nasihat-nasihat baiknya. Sosok yang rendah hati ini akan menyelesaikan tugasnya di akhir nanti seperti saat ia mulai pertama dulu. Hidupnya selalu dipenuhi kerendahan hati, meskipun dunia bergolak dengan penuh kemewahannya. Bahkan kalaupun semua orang bertikarkan bintang-bintang yang gemerlap, ia tetap tertunduk kepada Tuhan-nya sampai saat menghadap kepada-Nya. Sosok semacam ini tidak pernah menunjukkan perilaku yang tidak baik darinya.
Khususnya di masa-masa seperti ini kita sangat membutuhkan para da'i yang memiliki sifat-sifat yang terpuji seerti ini. Merekalah para penuntun kaliber yang biasa memikat ribuan orang untuk mengikuti jalan mereka, sehingga tersebarlah keharuman nama mereka di tengah masyarakat.
Da'i yang mukhlis dapat dilihat dari ciri-ciri berikut ini, ia selalu merendahkan hati tanpa unsur kepentingan pribadi, muncul darinya sifat-sifat harum secara fitrah tanpa ada unsur rekayasa sedikitpun, pandangan matanya syahdu dan ucapannya selalu menyejukkan hati, dan kalangan sekitarnya merasa nyaman dan bangga berada di dekatnya. Sifat terpuji ini bisa ia peroleh dari visi ayat-ayat Qur'an dan gambaran biografi hidup Nabi Saw., sejak memulai dakwahnya di kota Makkah hingga hijrah di Madinah dan sampai kembali menaklukan kota Makkah tidak berkurang sedikit pun beliau Saw. Di hari penaklukan itu beliau Saw. masuk dengan menundukkan kepala dan rasa malu kepada Allah. Inilah tanda orang yang selalu bersyukur kepada Tuhan-nya.
Beliau Saw. pernah merasa haus, kemudian beliau Saw. minta air minum. Hanya saja gelas yang ada di air zam zam yang berada di sisi beliau Saw. sedang dipakai minum oleh banyak orang. Pada saat itu datanglah seorang sahabat ke salah satu rumah yang terdekat di sekitar situ untuk meminjam sebuah gelas yang dikhususkan bagi Rasulullah Saw.. Tetapi beliau Saw. menolak gelas khusus itu dan beliau Saw. minta minum dari gelas yang dipake oleh orang banyak.
Dalam kesempatan itu beliau Saw. tidak ingin membedakan dirinya dari orang lain, bahkan beliau berkata, “Aku manusia biasa seperti orang lain dan aku butuh minum seperti orang lain.” Beliau Saw. senantiasa tidur di atas tikar yang terbuat dari anyaman daun-daun pohon kurma sampai di akhir hayat beliau Saw., bahkan beliau Saw. dikebumikan di tempat pembaringannya itu, yang kini tempat itu termasuk bagian dari raudha yang disucikan oleh umat Islam. Dalam hidupnya beliau Saw. tidak pernah menyimpang sedikitpun dari kebenaran dan itulah cara berdakwah yang terbaik. Demikian pula sahabat „Umar yang pernah berkuasa di atas tanah seluas sembilan kali negeri Turki dewasa ini, meskipun demikian kesederhanaan hidupnya tidak pernah berubah sedikit pun sejak ia masuk Islam. Ia termasuk sahabat yang paling miskin ketika ia menjabat sebagai khalifah dan ketika ia terbunuh. Bahkan diriwayatkan bahwa pada pakaiannya sehari-hari terdapat tiga puluh tambalan.[1]
Diriwayatkan pula bahwa „Umar suka berbaring di pekuburan Baqi untuk memikirkan kebahagiaan umat Islam.[2]
Itulah cara kehidupan para tokoh pimpinan Islam di masa lalu, meskipun mereka berhasil mencopoti berbagai mahkota dan pakaian para penguasa negara-negara lain. Tentunya hidup sederhana semacam itu, mempunyai pengaruh tersendiri bagi umatnya, ketika ia berdakwah, karena bentuk kehidupannya sesuai dengan tutur katanya.
Diriwayatkan bahwa Hatim al-Asham, seorang ahli hadis, mendengar bahwa Muhammad Ibnu Muqatil, seorang ahli fiqih, sedang sakit. Hatim sepakat dengan kawan-kawannya untuk mengunjungi Muhammad Ibnu Muqatil yang sedang sakit. Ketika Hatim dan kawan-kawannya tiba di rumah Muhammad Ibnu Muqatil, maka ia terkejut, karena Muhammad Ibnu Muqatil tinggal di sebuah gedung yang mewah. Hatim pun berkeingina untuk tidak masuk ke gedung itu, tetapi salah satu kawannya memaksanya untuk memasuki rumah muhammad Ibnu Muqatil.
Sesampainya di sana ia menjumpai Muhammad Ibnu Muqatil sedang tidur dan di sisi kepalanya ada seorang anak mengipasi kepalanya, sehingga Hatim menjadi heran melihat apa yang ia saksikan dengan matanya. Muhammad Ibnu Muatil adalah seorang ulama yang terpandang dan ia dikira sajadahnya senantiasa dibasahi oleh air matanya di waktu malam. Tetapi ia perlu bimbingan dari orang lain, karena ia memilih kehidupan yang glamour. Dan, Hatim sebagai seorang da'i terpanggil untuk menasihati Ibnu Muqatil. Keduanya pun terlibat percakapan yang bermanfaat.
“Ilmu yang seluas itu dari mana engkau memperolehnya?” Tanya Hatim.
“Aku diberi tahu oleh para ahli hadis yang tepercaya,” jawab Muhammad Ibnu Muqatil.
“Dari siapakah hal itu?” Hatim kembali bertanya.
“Aku mendapatkannya dari para sahabat nabi bahwa Rasulullah Saw. bersabda,” , jelas Muhammad Ibnu Muqatil.
“Dari manakah Rasulullah Saw. bersabda?” kejar Hatim.
“Dari Jibril as. Malaikat Jibril „as. menyampaikan keterangannya dari Allah, kemudian Nabi Saw. menyampaikannya kepada sahabat-sahabatnya dan sahabatsahabatnya menyampaikannya kepada orang-orang tepercaya.” Jawab Ibnu Muqatil.
“Apakah engkau pernah mendengar salah satu sabda Nabi Saw. sebagai berikut, „Siapa saja yang hidupnya sangat sederhana, ketika di dunia, ia berharap hidup bahagia di akhirat, ia mencintai orang-orang miskin dan ia lebih mengutamakan akhiratnya dari dunianya, maka ia akan disediakan kedudukan yang amat menyenangkan di sisi Allah,' tanya Hatim.
Mendengar ucapan Hatim Al Asham seperti itu, maka Muhammad Ibnu Muqatil bertambah sakit, sehingga kawan-kawan Hatim berkata kepadanya, “Apakah kamu hendak membunuh orang sakit ini dengan ucapanmu?”
“Bukankah kalian yang hendak membunuh orang ini,” jawab Hatim.
Dari kejadian di atas dapat disimpulkan bahwa Hatim al-Asham telah menunaikan kewajibannya sebagai seorang da'i kepada Muhammad Ibnu Muqatil yang lalai dari kesederhanaan hidup yang dituntut bagi setiap ulama.
Dalam kejadian yang lain disebutkan bahwa al-Imam Attanafasi, seorang tokoh ulama, dikenal sebagai seorang yang hidup glamour, karena kedekatannya dengan para penguasa. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang masih kecil usianya datang ke tempat al Imam Attanafasi seraya berkata, “Aku adalah seorang asing, aku datang kemari ingin engkau mengajari aku tata cara shalat dan wudhu yang baik.”
“Baik aku akan mengajarimu tata cara berwudhu dengan baik.” jawab Imam. Lalu ia berkata, “Wahai pemuda di situ ada sebejana air.”
Setelah air itu diberikan kepadanya, maka Imam Attanafasi memberi contoh cara berwudhu, yaitu dengan membasuh setiap anggota wudhunya sebanyak tiga kali. Kemudian ia berkata dengan pemuda itu, “Beginilah cara wudhu yang terbaik.”
Pada saat itu kebetulan Hatim al-Asham sedang berada di tempat itu, kemudian ia berkata kepada Imam Attanafasi, “Duduklah kamu, karena aku kan memberi contoh berwudhu yang terbaik bagi pemuda ini.”
Setelah Imam Attanafasi, maka Hatim al-Asham berwudhu dan membasuh anggota badannya sebanyak tiga kali, kecuali ketika membasuh kedua sikunya sebanyak empat kali. Melihat hal tersebut Imam Attanafasi berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau kebanyakan membasuh kedua sikumu.”
“Mengapa engkau berkata demikian kepadaku?” tanya Hatim.
“Karena engkau membasuh kedua lenganmu sebanyak empat kali, sehingga engkau berlebihan dalam menggunakan air wudhu.” Jelas Imam Attanafasi.
“Mengapa engkau mengatakan aku berlebihan dalam penggunaan air berwudhu, sedangkan engkau mengumpulkan harta sebanyak ini tidak merasa berlebihan?” jawab Hatim.
Imam Attanafasi pun segera menyadari bahwa Hatim al-Asham ingin menasihati dirinya dengan nasihat yang baik. Sebenarnya, Imam Attanafasi adalah seorang ulama yang ternama di masanya, tetapi karena ia sangat dekat dengan penguasa, maka kekayaannya sangat berlimpah ruah. Dan, Hatim al-Asham menyadarkan Imam Attanafasi bahwa kehidupan seorang ulama yang suka menyampaikan kebaikan kepada orang lain, tidak pantas mempunyai kekayaan yang berlebihan.
Tetapi dewasa ini tidak sedikit kaum ulama yang hidupnya serba glamour dan mewah, sehingga mereka tidak dapat menyadarkan orangorang yang sesat. Padahal kalau mereka mengetahui bahwa bukan kekayaan yang dapat menyadarkan orang-orang yang sesat kembali ke jalan yang benar. Tetapi kebaikan perilaku dan tutur kata seorng da'i, itulah yang akan dikenang sepanjang masa oleh para pendengarnya, karena kekayaan seorang dan kedudukannya akan ditinggal setelah ia mati. Berbeda dengan kesederhanaan hidup seorang ulama yang benar-benar lurus tutur kata dan perilakunya, maka ia akan dikenang orang sepanjang masa, bahkan kuburannya akan dikunjungi banyak orang setiap saatnya.
Kesimpulannya, bagi para da'i yang hidunya serba sederhana, hendaknya mereka tetap mempertahankan kesederhanaan hidupnya, meskipun kedudukannya makin hari makin tinggi di kalangan masyarakatnya.
[1] ‘Umar Waidaratud Daulati, Al-Shibli An Nukmani 2/393.
[2] Hayatus Sahabah Al Kahandalawih 3/587.
- Dibuat oleh